Cari dengan kata kunci

rawon-1290.jpg

Rawon, Sup Daging Berkuah Hitam

Kuliner warisan leluhur yang nikmat disantap semua kalangan.

Kuliner

BEBERAPA orang sedang menikmati sajian makanan. Sembari makan, terbetiklah percakapan di antara mereka. “Ini jika bukan orang Surabaya, tidak bisa masak rawon seperti ini. Apakah Jeng Nani yang memasak?” tanya Pak Sastro.

Nani yang ditanya pun segera menjawab, “Bukan, Pak, ini masakan istrinya Bung Uman yang asli arek Surabaya. Mungkin Bapak-bapak kenal Bung Uman. Kata Mas Topo, ia dulu juga ikut revolusi di Surabaya.”

Percakapan di atas tersua dalam novel Lesti (2006) karya Suhario Padmodiwiryo atau lebih dikenal dengan Hario Kecik. Novel ini berangkat dari kenangannya awal tahun 1947, tatkala melaksanakan tugas survey di daerah pantai Selatan, dari Pacitan hingga Malang. Dari petikan percakapan tersebut, Hario Kecik mengungkapkan bahwa rawon adalah makanan khas dari Jawa Timur.

Kendati juga dikenal di sebagian Jawa Tengah, rawon memang identik sebagai kuliner Jawa Timur. “Rawon atau yang lebih dikenal dengan nasi rawon merupakan salah satu sup khas Jawa Timur yang berwarna cokelat kehitaman,” tulis Umar Santoso dkk dalam Makanan Tradisional Indonesia Seri 2: Makanan Tradisional yang Populer.

Di Jawa Timur, ada sejumlah warung yang melegenda karena nasi rawonnya. Pada 1950-an, di tengah kota Surabaya, ada warung rawon yang buka di depan gedung NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij), stasiun radio Hindia Belanda, sehingga dikenal dengan rawon nirom. Sekarang warung ini berlokasi di Jalan Embong Malang, Surabaya. Karena jam bukanya jelang tengah malam, lebih dikenal sebagai rawon setan.

Di Probolinggo, ada Warung Lumayan yang sudah ada sejak 1942. Lokasinya berada di pinggir Jalan Raya Tongas, dulu dikenal sebagai Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) Anyer-Panarukan. Warung ini menyajikan rawon dengan alas daun pisang (pincuk) sehingga dikenal dengan sebutan rawon pincuk. Pada 1990-an ia ganti nama jadi Rumah Makan Rawon Nguling, yang memiliki 11 waralaba di beberapa kota di Indonesia.

Sementara di Malang, ada Warung Nasi Rawon Brintik yang didirikan tahun 1942. Dari semula berjualan di dalam kampung, kini berlokasi di Jalan KH Ahmad Dahlan Malang yang strategis. Bisa juga mencicipi Rawon Rampal yang berdiri sejak 1957 dan berlokasi di Jalan Panglima Sudirman, Kecamatan Klojen, Kota Malang.

Keberadaan warung-warung itu menandakan bahwa rawon adalah masakan yang sudah dikenal lama. Sejak kapan rawon ada memang butuh penelitian intensif. Namun, menurut Sri Fajar Ayuningsih dalam “Pelestarian Rawon Nguling sebagai Nilai Tambah pada Pengembangan Wisata Kuliner Tradisional Indonesia” di jurnal Bijak, Maret 2017, beberapa kitab sastra Jawa Baru abad ke-18 sudah menyuguhkan informasi mengenai rawon dan keluak sebagai bumbu penting dalam rawon.

Keluak beberapa kali disebut dalam Serat Centhini, ensiklopedia budaya Jawa yang disusun para pujangga Keraton Surakarta di bawah pimpinan Sunan Pakubuwono V dan diselesaikan tahun 1814. Sementara catatan mengenai rawon tersua dalam Kakawin Bhomakawya, kakawin terpanjang yang berasal dari Jawa Timur: rarawwan (sayur rawon) serta enak ikaŋ rarawwan amarěg-marěgi (rawon enak dan mengenyangkan).

Bahasan mengenai resep rawon muncul dalam Serat Wulangan Olah-olah Warna-warni, semacam catatan atau buku masak koleksi Istana Mangkunegaran Surakarta yang dicetak pada 1926. Dalam buku ini, tulis Sri Fajar Ayuningsih, resep rawon masuk dalam bab Olah-olahan Cara Jawi.

“Rajangan atau irisan tipis bawang merah 10, rajangan atau irisan tipis bawang putih 1, ketumbar 1 sendok kecil, rajangan atau irisan kunyit 6, trasi 1 sendok kecil, lengkuas 2 iris, ditumbuk hingga lembut lalu digoreng dengan minyak kelapa. Setelah memotong-motong daging 2, lalu direbus. Jika sudah keluar kaldunya, rebusan daging tadi ditambah bumbu yang sudah digoreng serta diberi asem jawa bakaran 1 mata. Irisan cabai merah 6, keluak 2, kemiri 1, daun jeruk purut 3 lembar, daun salam 2 lembar, serai secukupnya, lalu dimasak bersama rebusan daging hingga matang.”

Jadi, rawon merupakan kuliner warisan leluhur yang masih dikenal, diolah, dijajakan, dan dikonsumsi masyarakat.

Secara umum, rawon berisi potongan daging dengan campuran kuah berwarna hitam. Kuah pada rawon terbuat dari rempah-rempah, seperti bawang merah, bawang putih, lengkuas, ketumbar, kunyit, jahe, cabe. Tambahan asam jawa dan biji keluak menjadi ciri khas dari rawon. Warna hitam pada kuah rawon bukan berasal dari kecap melainkan dari isi biji keluak.

“Selain memberi warna kuah yang gelap, buah keluak juga memberikan rasa yang gurih pada kuahnya,” tulis Umar Santoso dkk.

Keluak, dalam bahasa Latin pengium edule, merupakan pepohonan yang tumbuh liar dan bijinya dimanfaatkan masyarakat Nusantara sebagai bumbu dapur. Meski demikian, biji keluak tak boleh dimakan mentah karena mengandung zat-zat yang berbahaya bagi tubuh.

Cara membuat rawon sangat sederhana. Mulanya berbagai rempah tadi disatukan dan dihaluskan, lalu dimasukkan bersamaan dengan rebusan potongan daging sapi. Dalam proses pemasakan, ditambahkan batang serai, gula, dan garam sesuai selera. Untuk menghasilkan daging rawon yang empuk, biasanya rumah makan yang menjual rawon mengolah daging melalui dua kali perebusan.

Rawon biasanya disajikan bersama nasi panas, dengan tambahan tauge dan taburan bawang goreng. Tiap daerah memiliki tambahan pelengkap nasi rawon; dari suwiran empal, tempe goreng, telur asin, hingga kerupuk udang. Dengan citarasa gurih berpadu dengan rempah-rempah Nusantara, rawon pun bisa disantap dan dinikmati semua kalangan. Daging sapinya yang empuk membuat rawon semakin spesial. Tidak heran, jika dalam berbagai hajat, rawon kerap hadir menjadi penyempurna hidangan bagi para tamu yang datang.

Zaman sekarang memasak rawon bukan hal sulit. Bumbu instan rawon mudah ditemukan di pasar tradisional maupun pasar modern dengan harga terjangkau. Namun, memasak rawon dengan bumbu segar tentu lebih enak karena rasa rempahnya lebih terasa.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Ahmad Ibo

  • Lesti. Suhario Padmodiwiryo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Sri Fajar Ayuningsih dalam “Pelestarian Rawon Nguling sebagai Nilai Tambah pada Pengembangan Wisata Kuliner Tradisional Indonesia” di jurnal Bijak, Vol. 14 No. 1, Maret 2017.Umar Santoso dkk. Makanan Tradisional Indonesia Seri 2: Makanan Tradisional yang Populer. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2019.

This will close in 10 seconds