Cari dengan kata kunci

Batik_Nusantara_1200.jpg

Batik, Khazanah Nusantara untuk Dunia

Keahlian mewarna pakaian dan memperindah dengan motif yang disebut batik sudah mendunia. Sarat makna sekaligus bernilai ekonomi tingi.

Kesenian

JAN Laurens Andries Brandes, filolog sekaligus arkeolog berkebangsaan Belanda, menyebut, jauh sebelum ada kata Indonesia, masyarakat Nusantara sudah mengenal sepuluh unsur kebudayaan. Salah satunya adalah membatik.

Pendapat Brandes, yang ditulis tahun 1889, diperkuat dengan ditemukannya motif pada panel Candi Prambanan dan Borobudur yang diyakini oleh peneliti sejarah sebagai motif batik. Jika merunut pada penemuan tersebut, kebudayaan batik sudah ada di Nusantara sekitar abad ke-8.

Berbeda dari negara lain, seperti Timur Tengah dan India, Indonesia memiliki istilah sendiri untuk menjelaskan kebudayaan mewarnai pakaian, yaitu batik. Secara etimologi, kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “ngembat” atau melempar berkali-kali dan “tik” atau membuat titik. Jadi, secara harfiah dapat diartikan membuat titik (membuat gambar) pada sehelai kain.

Kain batik mulanya berkembang di lingkungan keraton. Pola dan ragam hiasnya kental pengaruh Hindu dan Islam. Batik tulis dikenakan sebagai busana raja dan keluarganya, dengan motif seperti kawung, parang, sawat, cemungkiran, alas-alasan. Motif ini sering disebut sebagai “pola larangan”. Sementara batiknya lebih dikenal dengan batik keraton.

Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755, berbagai pola ragam hias berkembang secara terpisah di dua keraton: Yogyakarta dan Surakarta. Masing-masing keraton menampilkan matra keindahan dan gaya berbeda.

Seiring waktu, pembuatan batik menjalar keluar lingkungan keraton. Kegiatan membatik di luar keraton dikelola para pengusaha atau saudagar batik di Kauman, Kratonan, dan Laweyan. Mereka memodifikasi gaya klasik dengan selera mereka dan pasar.

Masyarakat luas yang sebelumnya mengenakan kain lurik yang ditenun, mulai mengenakan kain batik dengan pola ragam hias yang berbeda. Kain batik ini kemudian dikenal dengan sebutan batik sudagaran.

Batik rupanya menarik hati para perempuan Indo. Bukan hanya mengenakannya sebagai busana sehari-hari, mereka juga membuat batik sendiri yang kemudian dikenal sebagai batik Belanda. Pembuatan batik berkembang pesar setelah masuknya orang Tionghoa. Produksi batik Belanda maupun Tionghoa terpusat di kota-kota pesisir utara Jawa seperti Pekalongan, Cirebon, dan Lasem. Corak dan motif batik kian berkembang. Pemakaiannya pun kian meluas; dipakai semua kalangan.

Teknik baru dalam membatik muncul pada pertengahan abad ke-19, yaitu cap, alat dari tembaga atau besi yang dibentuk berdasarkan motif yang dikehendaki. Ia digunakan untuk mencapkan malam dengan cara menekannya pada kain. Penerapan cap membantu mempercepat proses pembatikan. Harga jual kain batik pun jadi terjangkau masyarakat luas dan bisa digunakan untuk pakaian sehari-hari.

Jauh sebelum ditemukan teknologi batik cap, kegiatan membatik dilakukan perempuan. Kegiatan membatik dilakukan untuk mencari penghasilan tambahan, sambil berupaya untuk mempertahankan kebudayaan yang dianggap memiliki nilai adiluhung tersebut. Serat Centhini menggambarkan cara perempuan Jawa membatik; menuliskannya dengan canting yang diisi cairan lilin panas (malam), yang hingga kini dikenal dengan istilah batik tulis.

Teknik batik tulis memiliki beberapa tahapan. Dimulai dengan membuat pola di atas kain yang akan dibatik. Pola yang sudah terbentuk kemudian ditulis dengan menggunakan canting. Tahap ini disebut dengan klowongan. Setelah pola batik berubah menjadi klowongan, pola tersebut lalu diarsir. Tahap ini disebut dengan isen-isen. Setelahnya, diisi warna penuh, yang dinamakan tahap nembok. Kain yang sudah dibatik lalu direndam untuk memberi kesan warna sesuai yang diinginkan.

Dahulu, proses pewarnaan batik masih menggunakan bahan-bahan alami yang bersumber dari daun, batang, hingga akar dari berbagai jenis tanaman, seperti pohon nila, pohon soga tingi, kayu tegeran, kunyit, kesemumba, dan akar mengkudu. Seiring waktu, proses pewarnaan batik juga menggunakan pewarna kimia. Meski demikian, masih banyak sentra industri batik yang menggunakan pewarna alami untuk menjaga kualitas kain batik yang dihasilkan.

Untuk merawat khazanah budaya bangsa yang berakar dari tradisi masyarakat, Presiden Sukarno mendorong penciptaan batik gaya baru yang bersifat nasional dan melambangkan persatuan. Batik baru ini, yang popular dengan nama “batik Indonesia”, menyatukan desain pola ragam hias batik keraton dan pesisir. Batik Indonesia juga sering disebut sebagai “batik modern”.

Kain batik meraih popularitas pada 1970-an. Ali Sadikin sebagai gubernur Jakarta menetapkan batik sebagai pakaian resmi pria di wilayah DKI Jakarta. Langkah ini diikuti secara nasional.

Perkembangan industri batik di Indonesia yang pesat secara tidak langsung memperkaya motif batik Nusantara, seperti motif batik mega mendung dari Cirebon, motif batik jlamprang dari Pekalongan, batik Ternate, dan lain-lain. Meski harus bersaing dengan batik-batik impor yang harganya lebih murah, batik Nusantara masih memiliki penggemar setianya. Motif batik Nusantara tidak hanya kaya dalam segi jumlah, tapi juga kaya akan makna filosofis yang melingkupinya. Tidak salah jika UNESCO pada 2 Oktober 1999 menetapkan batik sebagai warisan budaya Indonesia untuk dunia.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Een Jayapatra of Acte van Eene Rechterlijke Uitspraak van Caka 849. Arikel Jan Laurens Andries Brandes dalam artikel di Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG)
    Serat Centhini
    Seni Kerajinan Batik Indonesia karya S.K. Sewan Susanto
    Batik dan Mitra karya Nian S Djumena

This will close in 10 seconds