Cari dengan kata kunci

Bubur_Manado_ie_1290

Bubur Manado, Bubur dengan Aneka Sayur

Sempat dianggap makanan darurat dan melarat. Kemudian menjadi peneguh identitas orang Minahasa.

Kuliner

HAMPIR seluruh wilayah di Indonesia memiliki bubur khas masing-masing. Di Jakarta ada bubur ase, Cirebon punya bubur ayam, di Aceh terhidang bubur kanji rumbi, di Maluku tersedia bubur sagu ubi, dan di Kalimantan tersaji bubur pedas. Tak ketinggalan pula di Sulawesi Utara. Di sini tersua panganan bubur manado yang terkenal.

Bubur manado dibuat dari beras yang dicampur dengan aneka bumbu dan sayuran seperti kangkung, bayam, kacang panjang, daun kemangi, ubi merah, jagung pipil, dan daun gedi (bentuknya seperti daun pepaya tapi tidak pahit) yang hanya ada di Manado.

Bubur ini biasanya disantap dengan hidangan pelengkap seperti ikan tongkol atau ikan asin bersama sambal bakasang atau dabu-dabu. Selain enak, bubur ini memberikan banyak asupan gizi karena bahan pelengkapnya yang bermacam-macam dan menyehatkan. Orang Manado biasanya menyantap bubur ini selagi hangat dengan alas daun pisang.

William Wongso, pakar kuliner, menyebut bubur sejatinya berasal dari Tiongkok. Para pedagang Tionghoa memperkenalkan bubur sejak jejaring perdagangan antara Nusantara dan Tiongkok terbentuk dari abad ke-5.

William menambahkan, bubur menyiratkan nilai perjuangan hidup orang-orang Tionghoa di perantauan. Sebab bubur biasa disantap untuk sarapan sebelum bekerja. “Jadi mereka makan bubur itu karena lauknya tidak perlu banyak, hanya sedikit terus bisa langsung diseruput,” kata William kepada Republika, 13 April 2019.

Secara berangsur, orang-orang di Kepulauan Nusantara mengolah bubur sesuai dengan keadaan alam, tradisi, dan kepercayaan setempat. Ini membuat bubur di satu daerah berbeda dari daerah lain.

Di Sulawesi Utara, bubur berisikan rebusan sayuran atau disebut tinutuan. Inilah nama hidangan cikal-bakal bubur manado. Gabriele Weichart, seorang antropolog Jerman, menyebut pemilihan sayuran sebagai lauk untuk bubur tak lepas dari cara pandang orang-orang di wilayah Minahasa tentang diri dan lingkungannya.

Orang Minahasa mengidentifikasi dirinya sebagai orang-orang yang dekat dan terikat dengan alam sebagaimana nenek moyang mereka. Mereka mengolah makanan dari bahan-bahan yang mereka dapatkan langsung dari alam. Antara lain sayur-mayur, jagung, beras, dan umbi-umbian. “Sebagai pemburu, pengumpul makanan, dan petani, orang Minahasa meneruskan tradisi (kuliner) nenek moyang mereka, yang juga menempati daerah pegunungan,” catat Gabriele Weichart dalam “Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner”, termuat di jurnal Antropologi Indonesia No. 74 tahun 2004.

Bahan makanan dari alam itu kemudian diolah menjadi tinutuan. Makanan ini menjadi pemersatu di antara beragam kelompok masyarakat Minahasa. Sebab, makanan ini tak mengandung daging hewan buruan yang dimakan seluruh kelompok masyarakat Minahasa.

Seiring pertambahan penduduk di Sulawesi Utara, Manado menjadi kota yang ramai. Orang-orang dari penjuru Sulawesi Utara mendatangi kota ini dan membawa kebiasaan dari pedalaman. Salah satunya kebiasaan membuat tinutuan. Dari sinilah nama bubur manado mencuat.

R.Z. Leirissa, sejarawan penulis buku Minahasa di awal Perang Kemerdekaan, menyoroti peran zending atau penyebar agama Kristen yang datang awal abad ke-19. Menurut dia, “bubur manado konon adalah ciptaan zending-zending.”

Makanan merupakan salah satu alat untuk mengakrabkan diri. Para zending berupaya mencari resep makanan yang pas untuk dihidangkan pada masyarakat setempat. Makanan itu tidak boleh melanggar kebiasaan setempat atau berlawanan dengan lidah penduduk yang akrab dengan rasa pedas dari cabai. Karena itulah mereka membuat bubur dengan rebusan sayuran dan rasa pedas.

Selain dua cerita di atas, ada cerita unik lain tentang bubur manado. Dikisahkan dalam Sejarah Daerah Sulawesi Selatan karya A. Sigarlaki dan kawan-kawan, bubur manado tersua dalam sajak sindiran untuk pemerintah kolonial pada 1934.

Sajak itu menggambarkan seorang tokoh pergerakan nasional yang minta makanan enak tapi justru diberi bubur oleh pemerintah. Bubur saat itu dianggap sebagai makanan orang melarat. Ini masih berlanjut sampai kedatangan Jepang. Seringkali orang menganggap bubur sebagai makanan darurat.

Tapi seiring perubahan zaman, bubur kembali menjadi makanan sehari-hari yang dikonsumsi oleh berbagai kelompok masyarakat dalam masa normal. “Penduduk kota perlahan-lahan menganggapnya sebagai hidangan lezat yang sesuai untuk sarapan kedua. Dengan begitu, status tinutuan meningkat menjadi hidangan khas daerah,” catat Gabrielle Weichart.

Sekarang bubur manado dijual di berbagai sudut kota Manado. Jika berkunjung ke Manado datanglah ke Jalan Wakeke. Nyaris semua rumah di sepanjang jalan ini membuka warung bubur manado. Tak heran jika pada 2001, jalan ini dinobatkan sebagai kawasan wisata makanan tradisional tinutuan.

Tentu saja Anda tak harus ke Manado untuk bisa menikmati sajian makanan ini. Cara membuatnya cukup mudah. Rebus beras dengan air; aduk sampai setengah matang. Tambahkan garam dan serai –plus, kalau suka, jahe, daun pandan, dan daun kunyit. Lalu masukkan potongan singkong, labu kuning, dan jagung sampai lunak. Setelah agak mengental, masukkan bayam atau kangkung, daun melinjo, dan daun gedi. Anda juga bisa melengkapinya dengan buncis dan kacang panjang sesuai selera. Terakhir, masukkan daun kemangi hingga daun layu kemudian diangkat. Sajikan dengan sambal ikan roa, perkedel jagung, ikan asin, tahu, atau sambal terasi.

Silakan mencoba.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Tim Indonesia Exploride

  • A. Sigarlaki dkk. Sejarah Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982.
    Gabrielle Weichart. “Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner”, jurnal Antropologi Indonesia No. 74, 2004.
    R.Z. Leirissa. Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia: Peristiwa Merah-Putih dan Sebab-Musababnya. Jakarta: Sinar Harapan, 1997.
    “Bubur, Dikenal sebagai Menu Sarapan Pedagang Cina”. Republika, Sabtu 13 April 2019 (diakses 7 Agustus 2020).

This will close in 10 seconds