Cari dengan kata kunci

Kampung_Kapitan_1200.jpg

Eksotika Pecinan di Kampung Kapitan

Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI menjadi awal kedatangan bangsa Tiongkok (Dinasti Ming) ke nusantara di abad XIV. Pada masa itu pemerintahan Tiongkok membentuk lembaga dagang yang salah satunya berpusat di Palembang. Sehingga banyak pedagang Tiongkok yang kemudian menetap dan menikah dengan gadis Palembang.

Pariwisata

Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI menjadi awal kedatangan bangsa Tiongkok (Dinasti Ming) ke nusantara di abad XIV. Pada masa itu pemerintahan Tiongkok membentuk lembaga dagang yang salah satunya berpusat di Palembang. Sehingga banyak pedagang Tiongkok yang kemudian menetap dan menikah dengan gadis Palembang.

Pada masa kolonial, Belanda mengangkat perwira Tiongkok berpangkat mayor untuk mengatur wilayah 7 Ulu, mayor tersebut dikenal dengan nama Mayor Tumenggung dan Mayor Putih. Setelahnya, jabatan tersebut kemudian diwariskan secara turun temurun kepada pewarisnya, hingga pada akhirnya jabatan tersebut dijabat oleh Tjoa Kie Cuan (1830) dan diteruskan oleh putranya Tjoa Ham Hin yang kemudian oleh Belanda diberi gelar Kapitan Cina di tahun 1855.

Dari Kapitan Cina inilah kemudian muncul istilah Kampung Kapitan yang dahulu ditinggali oleh masyarakat keturunan Tiongkok di Palembang. Kampung Kapitan merupakan perumahan yang memiliki luas sekitar 165,9 x 85,6 meter, berada di tengah pemukiman padat di tepi Sungai Musi yang berseberangan langsung dengan Benteng Kuto Besak.

Bermula sebagai pecinan yang ada di Palembang, Kampung Kapitan kini hanya meninggalkan dua bangunan peninggalan dari tahun 1800-an. “Dua bangunan ini milik Kapitan, tadinya ada tiga sampe ke kiri, tapi karena ada sesuatu hal, bangunan yang paling kiri sekarang sudah milik orang lain dan bentuknya sudah berubah,” begitu kata Mulyadi, cicit dari Kapitan menjelaskan.

Dua bangunan berusia lebih dari 400 tahun tersebut dibangun dengan menggunakan kayu pulay. Meski pondasi bangunan rumah masih kokoh, namun di beberapa bagiannya sudah mulai lapuk termakan usia. Tiap bangunan rumah kapitan dihubungkan oleh selasar di bagian tengah rumah. Selasar tersebut dibuka ketika rumah sedang mengadakan pesta dan pertemuan. Secara umum, rumah Kapitan Cina berbentuk panggung dengan perpaduan sentuhan tradisioal Palembang dan Tiongkok.

Menurut Mulyadi, dua bangunan rumah yang masih tersisa hingga kini dikenal dengan sebutan rumah kayu dan rumah batu. Berbeda dengan rumah batu, sebutan rumah kayu dipakai karena pondasi rumah dibuat dengan menggunakan batang pohon pulay. Selain itu, sebagian besar bagian rumah termasuk pada interior dan langit-langitnya masih menggunakan kayu. Dilihat dari fungsinya, rumah batu digunakan sebagai tempat ibadah, sedangkan rumah batu digunakan untuk mengadakan pesta dan pertemuan.

Kedua bangunan peninggalan Kapitan Cina yang beralamat di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Kota Palembang ini nampak masih kokoh berdiri. Namun demikian, di beberapa bagiannya sudah mengalami kerusakan. Hanya ada tiga benda peninggalan Kapitan Cina yang masih ditemukan di dalam kedua rumah tersebut. Benda peninggalan tersebut antara lain, meja abu, altar sembahyang, dan beberapa dokumentasi.

Kampung Kapitan yang merupakan kawasan pecinan adalah wujud Kota Palembang, yang sejak dulu hidup dalam keberagaman. Sudah selayaknya sisa-sisa bangunan dan benda peninggalan yang ada di Kampung Kapitan mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Tak berlebihan jika rumah kayu dan rumah batu di Kampung Kapitan menjadi bangunan cagar budaya, selain usianya yang sudah lebih dari empat abad, rumah tersebut juga menyimpan sejarah kedatangan bangsa Tiongkok ke Palembang. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]

Informasi Selengkapnya
  • Elsa Dwi Lestari

  • Indonesia Kaya

This will close in 10 seconds