Cari dengan kata kunci

Gambang_Kromong_1200.jpg

Gambang Kromong, Akulturasi dalam Musik Betawi

Keinginan memainkan gamelan melahirkan bentuk kesenian baru. Enak didengar, asyik buat ngibing.

Kesenian

HUBUNGAN sinergis antaretnis akan menghasilkan harmoni yang indah dalam kehidupan. Setidaknya itulah pesan moral yang dapat diambil dari asal-usul gambang kromong di tengah masyarakat Betawi. Alunan gamelan yang berpadu dengan alat-alat musik Tionghoa menghasilkan simfoni nan unik.

Secara etimologi, gambang kromong berasal dari penyebutan dua instrumen perkusi yang digunakan, yaitu gambang dan kromong. Gambang terdiri dari 18 bilah; terbuat dari kayu suangking, huru batu, atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Sedangkan kromong terbuat dari perunggu atau besi, tersusun atas 10 keping plat dengan nada yang diatur berurutan.

Akulturasi dua alat musik itu memiliki akar sejarah yang panjang. Menurut majalah Pantja Warna edisi Juni 1949, orang-orang Tionghoa di Jawa senang mendengarkan gamelan dan coba memainkannya. Tapi di Batavia (Jakarta), permainan gamelan kurang halus sehingga orang Tionghoa lebih suka orkes yang khim.

Orkes yang khim terdiri dari yang-khim (sejenis siter), sukong (rebab besar), thehian (rebab sedang), kongahian (rebab kecil), hosiang (instrumen gesek berdawai tiga), sambian, suling, pan (kecrek), dan ningnong (alat musik pukul dari dua piringan logam).

Namun yang-khim sulit didapat. Maka, orang Tionghoa di Jakarta menggantikannya dengan gambang yang terdapat pada gamelan. Sementara sambian dan hosiang ditiadakan tanpa mengurangi nilai penyajian. Dikenallah istilah orkes gambang. Karena membawakan lagu-lagu Cina, orkes ini sering disebut gambang cina.

Orkes gambang rupanya digemari kaum Tionghoa. Sekitar tahun 1880, kepala kampung Tionghoa Pasar Senen bernama Bek Teng Tjoe menyajikan orkes gambang dengan iringan kromong, kempul, gendang, dan gong. Rupanya eksperimen ini membuat gembira para pendengarnya. Sejak itulah orkes gambang kromong mulai dikenal.

Dari Batavia, gambang kromong menyebar ke seluruh penjuru kota. “Kini, ia tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga di bagian utara Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek), bahkan hingga sebelah barat dan utara Krawang sekarang. Kawasan-kawasan itu memang merupakan area budaya Betawi,” tulis David Kwa dalam “Lebih Dalam Tentang Gambang Kromong dan Wayang Cokek” di Jurnal Kesenian Cisadane. Juni 2005.

Sesuai namanya, gambang kromong menggunakan dua alat musik utama berupa gambang dan seperangkat kromong. Saat ini keduanya disertai alat musik lain sebagai pelengkap, yakni sukong, thehian, kongahyan, kecrek, ningnong, gong, kempul, dan gendang.

Sukong, thehian, dan kongahyan merupakan alat musik gesek berdawai dua, direntangkan pada tempurung berlapis kulit dan berleher kayu panjang. Ketiganya berfungsi sebagai pembawa melodi dan ornamen lagu yang bervariasi.

Kecrek terbuat dari lempengan-lempengan logam yang disusun di atas papan kayu. Dimainkan dengan cara dipukul dan berfungsi sebagai pengatur irama dan menimbulkan efek bunyi tertentu. Ningnong dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat besi kecil secara bergantian kiri ke kanan atau kanan ke kiri sesuai irama. Fungsinya mengatur irama. Saat ini alat perkusi ini jarang digunakan. Instrumen ini hanya ditabuh atau digunakan pada lagu-lagu pobin.

Gong dan kempul terbuat dari logam, kuningan, atau besi. Gong menentukan irama dasar, sementara kempul berfungsi sebagai pembatas ritme melodi. Gendang, terbuat dari kayu berongga dan kedua pangkalnya ditutup kulit binatang, berfungsi sebagai instrumen pengatur irama yang memimpin permainan.

Nada musik gambang kromong hanya memakai lima nada (pentatonis) yang punya nama dalam bahasa Tionghoa, yakni liuh, u, siang, che, dan kong atau secara berurutan sol (G), la (A), do (C), re (D), mi (E). Larasnya pun selendro khas Tionghoa sehingga biasa disebut selendro cina atau ada pula yang menyebutnya selendro mandalungan. “Dengan demikian, semua instrumen dalam orchestra gambang kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras cina tadi,” ujar David Kwa.

Seiring perkembangan zaman, terdapat modifikasi dalam kesenian ini. Muncul gambang kromong kombinasi yang merupakan percampuran instrumen tradisional gambang kromong dengan berbagai instrumen modern seperti gitar melodi, bas, organ, saksofon, dan drum. Perpaduan ini menyebabkan terjadinya perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonik.

“Penambahan alat-alat musik modern menciptakan pro dan kontra di kalangan seniman maupun penikmat musik gambang kromong,” ujar Ali Gufron dari Badan Pelestari Nilai Budaya Jawa Barat dalam “Apa dan Bagaimana Peralatan Musik Gambang Kromong”.

Meski demikian, perubahan ini tidak menghilangkan kekhasan musik gambang kromong.

Gambang kromong dibawakan oleh 8-12 pemain ditambah sejumlah penari, penyanyi, dan terkadang pemain lenong. Umumnya lagu-lagu yang dibawakan bertema humor, gembira, atau sindiran dengan gaya bersahut-sahutan antara penyanyi lelaki dan perempuan.

Menurut David Kwa, terdapat tiga jenis lagu yang dibawakan gambang kromong. Lagu pobin, yang bersumber dari lagu-lagu tradisional Tiongkok, biasa dimainkan pada upacara pernikahan dan kematian orang Tionghoa. Karena dibutuhkan kemampuan membaca notasi dalam huruf Tionghoa, lagu phobin jarang dimainkan. Lalu ada lagu dalem yang dinyanyikan dalam bentuk pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Kemudian lagu sayur yang diciptakan untuk ngibing (menari)–biasanya dimainkan dengan gambang kromong kombinasi. Beberapa seniman yang mempopulerkan lagu sayur antara lain Benyamin Sueb, Bing Slamet, dan Ida Royani pada 1960-an.

Kwa menambahkan, saat ini dikenal dua liau (gaya) dalam musik gambang kromong: liau kulon (barat) dan liau wetan (timur). Sesuai namanya, liau kulon berkembang di Jakarta Barat sampai Tangerang, sedangkan liau wetan di Jakarta Timur dan Bekasi. “Pada liau kulon masih lebih terasa pengaruh musik Tionghoa plus Betawinya, sedangkan laiu wetan banyak dipengaruhi ragam musik gamelan sunda (Topeng dan Tanjidor),” kata Kwa.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Ali Gufron. “Apa dan Bagaimana Peralatan Musik Gambang Kromong”, dimuat kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar, 13 Maret 2020.

    David Kwa. “Lebih Dalam Tentang Gambang Kromong dan Wayang Cokek”, Jurnal Kesenian Cisadane, Juni 2005.

    Poa Kian Sioe. “Orkes Gambang Hasil Peranakan Tionghoa di Jakarta”, majalah Pantja Warna, Juni 1949.

This will close in 10 seconds