Cari dengan kata kunci

gemblong_1290.jpg

Gemblong Jajanan Pasar yang Kenyal dan Manis

Kudapan manis dari Jawa yang populer sejak dua abad lalu.

Kuliner
Tagar:

GEMBLONG termasuk salah satu jajanan pasar yang digemari masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa. Rasanya manis, teksturnya sedikit kenyal.

Cemilan yang mudah ditemui di pasar-pasar tradisional ini terbuat dari adonan tepung beras ketan putih yang dicampur santan, kelapa parut, dan garam. Adonan itu kemudian dibentuk bulat dan digoreng. Setelah digoreng gemblong dilapisi dengan larutan gula aren.

Di beberapa daerah, gemblong dikenal dengan nama yang berbeda. Seperti di Jawa Timur misalnya, panganan ini biasa disebut getas. Sedikit berbeda dengan gemblong yang menggunakan ketan putih, getas dibuat menggunakan ketan hitam.

Kendati sudah dikenal luas, asal-usul kue ini tak diketahui pasti. Soal nama, ada pendapat bahwa sebutan gemblong diambil dari bentuknya yang bulat dan lonjong.

Kalau menilik data prasasti, agaknya orang Indonesia sudah cukup lama memiliki tradisi membuat kue. Pun mengolah makanan berbahan dasar beras ketan.

Misalnya dalam Prasasti Sukawana AI dari 882 M yang ditemukan di Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Disebutkan istilah matuluang jaja. Menurut Luh Suwita Utami, peneliti Balai Arkeologi Denpasar, dalam “Jenis Makanan dalam Prasasti Bali Kuna” yang terbit di Forum Arkeologi Agustus 2011, matuluang jaja diartikan sebagai aktivitas membuat kue.

Tulisan dalam prasasti itu terkait dengan adanya bhiksu dan penduduk yang mengungsi dan bertempat tinggal di sana. Mereka diwajibkan membuat jaja (kue) dan dibebaskan dari beberapa jenis pajak. “Tak disebutkan dengan jelas jenis jaja atau kue yang dibebaskan itu,” kata Luh Suwita Utami.

Sementara beras ketan dikenal pula sebagai makanan pokok. Ia disebut dengan istilah laktan (ketan merah) dan laktan ireng (ketan hitam). Prasasti Pandak Badung (1071) yang ditemukan di Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali, menyebut keterangan tentang adanya penyebutan beras, ketan hitam, dan ketan merah sebagai persembahan pada saat upacara di Bulan Asuji.

Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia, kudapan manis yang dibuat dari tiga bahan: ketan, santan, dan gula merah merupakan warisan budaya Jawa. “Kombinasi ini jelas dikenal sebelum budaya Jawa belum mendapat pengaruh apapun,” ujarnya.

Namun, di dunia Melayu dan Jawa, kata Lombard, satu-satunya sebutan bagi berbagai kudapan ringan adalah “kue”. Sementara istilah ini berasal dari bahasa Hokkien “ge” atau bahasa Mandarin “guo”.

Karenanya Lombard pun berpendapat, para tukang kue Tiongkok berperan penting dalam pengembangan variasi dari kudapan khas Jawa. Khususnya dari apa yang disebut kue basah, yaitu diantaranya dibungkus daun pisang atau pandan dan dikukus.

Misalnya, orang Jawa mengenal kudapan bernama mendut yang dibuat dari kombinasi tepung ketan, kelapa, gula merah. Bedanya, panganan ini dibungkus daun pisang dan dikukus. Ada lagi klepon yang berbahan dasar serupa. Namun kue ini dimasak dengan direbus.

Cara masak dengan menggoreng, sebagaimana cara memasak gemblong, memang belum lama menjadi kebiasaan orang Jawa. Kalau kata Lombard, kuali dan penggorengan juga termasuk alat memasak yang berasal dari Tiongkok. Kendati kata goreng merupakan istilah Nusantara, di samping panggang dan bakar.

Di dalam prasasti, baik Jawa Kuno maupun Bali Kuno, tak tercatat cara mengolah makanan dengan menggoreng. Sumber-sumber itu lebih sering menuliskan makanan yang diolah dengan cara dikeringkan dan di pepes (dikukus). Kata Luh Suwita Utami, peneliti dari Balai Arkeologi Denpasar dalam “Aspek Kemasyarakatan di Balik Makanan dalam Prasasti Bali Kuna” yang diterbitkan Forum Arkeologi Agustus 2012, ada kemungkinan masyarakat pada masa itu mengolah makanannya dengan dibakar, direbus, diasap, atau diasinkan.

Barulah pada masa yang lebih muda terdapat informasi tentang beragam makanan rakyat, termasuk gemblong, yakni dalam Serat Centhini. Serat ini adalah karya bersama para pujangga Keraton Surakarta yang dipimpin Sunan Pakubuwono V dan diselesaikan pada 1814.

Keberadaan gemblong juga disebut Maurits Greshoff dalam Nuttige Indische Planten Vol 1 tahun 1894. Dia menyebut gemblong sebagai makanan terbuat dari beras ketan yang ditumbuk, lalu dibentuk kue gemblong yang besar, digoreng dan dipotong-potong berbentuk setrip.

Bisa diketahui, cara memasak ketika itu sudah lebih beragam, termasuk menggoreng. Gemblong pun menjadi salah satu panganan yang disebut bersama wajik, wingko, gethuk, tape, serabi, lepet, dan banyak lainnya. Menurut penuturan naskah, kudapan itu tersaji dalam acara kendurian upacara pernikahan.

Kini, gemblong umum dinikmati sebagai cemilan dan teman bersantai.*

Tagar:
Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Prasasti Sukawana AI dari 882 M , Desa Sukawana, Bali
    Luh Suwita Utami, peneliti Balai Arkeologi Denpasar, dalam “Jenis Makanan dalam Prasasti Bali Kuna” yang terbit di Forum Arkeologi Agustus 2011
    Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia,

This will close in 10 seconds