Cari dengan kata kunci

tifa_totobuang_1290.jpg

Tifa Totobuang, Harmonisasi Budaya dalam Alunan Nada

Alat musik dan sarana komunikasi yang dimainkan dengan pelepah dahan sagu menjadi perekat kerukunan warga Maluku sekaligus simbol perdamaian dan harmonisasi.

Kesenian

SEBUAH alunan nada yang harmonis terdengar begitu indah dari satu sudut kota Ambon yang lengang pagi itu. Nada-nada ritmis dan melodi berbaur dengan lembut namun penuh energi. Setiap hentakannya seolah mengatakan sesuatu yang diteruskan oleh alunan alat-alat melodis bernada pentatonik. Semua keindahan suara ini berasal dari kolaborasi musik bernama tifa totobuang.

Tifa totobuang sebenarnya berasal dari dua nama alat musik tradisional Maluku: tifa dan totobuang. Masing-masing alat musik memiliki fungsi berbeda tapi saling mendukung sehingga melahirkan warna musik yang khas dan indah.

Keberadaan tifa dan totobuang, serta alat musik lain di Maluku, sudah disebutkan seorang misionaris, naturalis dan penulis buku terkenal Francois Valentijn dalam Oud en Nieuw Oost Indien yang terbit dalam beberapa jilid pada abad ke-18.

Tifa merupakan alat musik tradisional khas Indonesia Timur serta biasa ditemukan di Maluku dan Papua. Menurut Margaret J. Kartomi dalam “Is Maluku Still Musicological terra incognita? An Overview of the Music-Cultures of the Province of Maluku” di Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 25 No. 1 Maret 1994, di Maluku, tifa punya sebutan lain seperti tihato dan tihal di Maluku Tengah, tibal (Fordate dan Tanimbar), dan titir (Aru). Bentuknya berbeda-beda sesuai daerah asal. Tapi umumnya berbentuk bulat. Badan kerangkanya terbuat dari kayu yang dilapisi rotan sebagai pengikat dan bidang pukul dari kulit kambing atau rusa.

Tifa dimainkan dengan tongkat pemukul dari gaba-gaba (pelepah dahan sagu) dan juga tangan. Valentijn melaporkan bahwa tifa digunakan sebagai alat musik dan sarana komunikasi penduduk Maluku. Ia digantung di pintu rumah atau masjid untuk memanggil orang berkumpul di rumah baileo (rumah adat Maluku) atau disebut tifa marinyo atau mengabarkan berita kematian (tifa orang mati). Selain itu tifa digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian tradisional. Belakangan ini tifa juga dipakai untuk memberitahu kedatangan kapal yang membawa ikan atau pemberi semangat kepada para pendayung dalam lomba perahu tradisional (belang) Arumbae Manggurebe.

Tifa terdiri dari beberapa jenis seperti tifa jekir, tifa dasar, tifa potong, tifa jekir potong, dan tifa bas. Bermacam tifa ini dibedakan menurut ukuran, bentuk, dan suara yang dihasilkan. Misal, tifa bas mengiringi musik totobuang, sementara tifa potong memainkan irama yang sinkopasi (penekanan pada not-not dengan ketukan lemah).

Sedangkan totobuang adalah alat musik melodis yang memiliki nada-nada dan bentuk menyerupai gamelan Jawa. Alat musik ini memang berasal dari Jawa, yang dibuktikan dengan namanya. Totobuang berasal dari kata “tabuh” yang berarti menabuh atau bermain gamelan. Bentuk fisiknya pun sama dengan bonang dalam gamelan Jawa.

Totobuang mulai dikenal bersamaan dengan masuknya Islam ke Maluku pada abad ke-15. Instrumen ini, dalam bentuk gong dengan ukuran berbeda, dibawa sebagai oleh-oleh atau cinderamata dalam acara angkat pela. Pada 1724, Valentijn melaporkan keberadaan totobuang yang terdiri dari lima atau enam gong kecil dalam sebuah rangka kayu dan dipukul dengan sepasang tongkat. Seiring waktu, jumlah gong dalam totobuang bertambah.

Totobuang terdiri dari beberapa gong kecil dalam beberapa ukuran dengan nada berbeda-beda. Ia bisa terdiri dari sembilan, 12, 14, atau 18 gong kecil yang disusun dalam dua kolom dan letakkan di atas rangka kayu. Menurut Christian Izaac Tamaela dalam disertasinya berjudul “Contextualization of Music in the Moluccan Church” di Vrije Universiteit Amsterdam tahun 2015, desa-desa Kristen di Maluku biasa menggunakan 12 atau 14 gong sedangkan desa-desa Muslim biasanya memiliki lima, enam, atau sembilan gong. Instrumen ini digunakan untuk hiburan atau untuk menyambut tamu. Beberapa jemaat Kristen di Maluku menggunakan totobuang dalam ibadah mereka.

Dalam perkembangannya, totobuang bukan hanya dibuat dari tembaga tapi juga kayu atau logam lain. Tak heran jika ada totobuang kaleng yang terbuat dari kaleng ikan sarden atau totobuang lampu yang terbuat dari tabung lampu gas. Hal ini dilakukan untuk menyiasati kesulitan mendapatkan totobuang yang biasa didatangkan dari Jawa.

Totobuang dimainkan dengan cara dipukul dua tongkat kayu. Dalam memainkan alat musik ini, tidak semua nada dibunyikan dengan dinamika yang sama. Ada yang pelan ada yang kuat. Totobuang sering digunakan dalam berbagai ritual agama dan tradisional maupun hiburan bagi masyarakat Ambon. Misalnya, untuk mengiringi pengantin.

Walaupun tifa dan totobuang adalah dua alat musik yang berbeda, namun bila keduanya digabungkan akan menghasilkan sebuah perpaduan manis dan indah untuk didengar. Dalam tradisi masyarakat Maluku, tifa memang biasa dimainkan dengan totobuang. Itu sebabnya kolaborasi ini dinamakan tifa totobuang. Masyarakat awam pun berpikir bahwa tifa totobuang adalah satuan alat musik yang tidak terpisahkan.

Tifa totobuang biasanya dipakai pada acara-acara adat, hiburan, maupun menyambut tamu. Setelah kerusuhan Ambon pecah awal tahun 2000 masyarakat Maluku menyandingkan tifa totobuang dengan kesenian lain yang kental nuansa Islam dan Melayu, yakni tari sawat. Tarian Maluku ini merupakan sebuah warisan budaya para pedagang Arab yang pernah berdagang di Jazirah Al-Mulk atau Maluku.

“Tifa totobuang ditabuh keras-keras, berkelindan dengan rampak rebana sawat dan hadrat yang menyentak,” ujar Jacky Manuputty, pendeta Gereja Protestan Maluku, dalam Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku yang juga ikut disuntingnya.

Perpaduan dua kesenian itu menjadi perekat kerukunan warga Maluku sekaligus simbol perdamaian dan harmonisasi masyarakat Maluku yang majemuk. Seni memang bahasa universal, dengan berbagai pesan positif yang disampaikan di dalamnya.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Christian Izaac Tamaela. “Contextualization of Music in the Moluccan Church”. De Boelelaan Amsterdam: Vrije Universiteit, 2015.

    Margaret J. Kartomi. “Is Maluku Still Musicological terra incognita? An Overview of the Music-Cultures of the Province of Maluku”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 25 No. 1 Maret 1994.
    Jacky Manuputty dkk. Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku. Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku & PUSAD Paramadina, 2014.

This will close in 10 seconds