Cari dengan kata kunci

kain_sasirangan_1290

Kain Sasirangan, Kain dalam Balutan Imaji

Memiliki kekuatan magis untuk pengobatan penyakit dan upacara adat. Indah dan menawan jika dikenakan untuk pakaian sehari-hari.

Kesenian

JIKA beberapa kota besar di Jawa memiliki Kampung Batik, Banjarmasin punya Kampung Sasirangan. Letaknya di Jalan Seberang Masjid, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kampung ini dibentuk pemerintah setempat sebagai destinasi wisata sekaligus sentra produksi kain khas Kalimantan Selatan yang disebut kain sasirangan. Di sini Anda bisa berbelanja atau melihat langsung proses pembuatan kain dengan beragam motif dan warna yang menawan.

Kain sasirangan merupakan kain adat suku Banjar di Kalimantan Selatan yang diwariskan secara turun-temurun. Merujuk Hikayat Banjar, kain ini sudah dibuat pada sekira abad ke-7 dengan nama kain langgundi.

Kisahnya, sesuai pesan ayahnya lewat mimpi, Patih Lambung Mangkurat dari Kerajaan Dipa bertapa untuk mencari raja selama 40 hari 40 malam di atas rakit mengikuti arus sungai. Tiba di daerah Rantau kota Bagantung, dia mendengar suara perempuan dari segumpal buih: Putri Junjung Buih. Sang Putri hanya akan menampakkan wujud jika permintaannya dipenuhi, yaitu sebuah istana megah yang dikerjakan 40 jejaka dan selembar kain panjang oleh 40 gadis.

Sesuai permintaan, istana dan kain selesai dibuat dalam waktu satu hari. Naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia, mengenakan kain langgundi berwarna kuning, dan kemudian jadi raja Dipa. Kain langgundi kini dikenal sebagai kain sasirangan.

Kain sasirangan dipercaya memiliki kekuatan magis yang bermanfaat untuk pengobatan (batatamba) serta mengusir dan melindungi diri dari gangguan roh jahat. Agar bisa digunakan sebagai alat pengusir roh jahat atau pelindung badan, kain sasirangan dibuat berdasarkan pesanan (pamintaan) –sehingga dikenal pula sebagai kain pamintaan.

Pembuatan kain ini tak boleh sembarangan. Harus melewati persyaratan khusus berupa upacara selamatan. Pemberian warnanya pun disesuaikan peruntukannya. Misalnya, warna kuning untuk menyembuhkan penyakit kuning, merah untuk sakit kepala atau insomnia, hijau untuk sakit lumpuh atau stroke, hitam untuk demam dan kulit gatal-gatal, ungu untuk sakit perut, serta coklat untuk penyakit kejiwaan atau stres.

Begitu pula bentuk dan cara pemakaiannya. Sarung (tapih bumin) untuk mengobati demam atau gatal-gatal; kemben (udat) untuk menyembuhkan diare, disentri, kolera, dan penyakit perut lainnya; kerudung (kakamban) yang dililitkan di kepala atau disampirkan sebagai penutup kepala untuk mengatasi migraine; serta ikat kepala (laung) untuk penyakit kepala seperti pusing atau kepala berdenyut-denyut.

Seturut perkembangannya, kain ini juga digunakan sebagai pakaian adat oleh kalangan rakyat biasa ataupun keturunan bangsawan. Arus globalisasi mode menggerus dan mengubah fungsi kain sasirangan. Nilai-nilai sakral memudar. Kain ini mengalami desakralisasi sehingga berubah menjadi pakaian sehari-hari. Ia juga dibuat untuk gorden, taplak meja, seprai, hingga sapu tangan.

Nama sasirangan dipakai sesuai cara atau proses pembuatan kain ini, yaitu “sa” berarti satu dan “sirang” berarti jelujur. Kain ini dibuat dengan teknik tusuk jelujur, kemudian diikat dengan benang atau tali dan dicelup ke pewarna pakaian. Banyak orang menyebut kain sasirangan sebagai “batik Banjar”. Padahal proses pembuatannya berbeda dari batik yang menorehkan malam (lilin) dengan canting.

Pada mulanya kain sasirangan menggunakan bahan dasar dari benang kapas atau serat kulit kayu. Seiring kemajuan teknologi, sasirangan dibuat dari bahan lain seperti sutera, satin, santung, balacu, kaci, polyster, hingga rayon.

Pewarnaannya semula menggunakan bahan-bahan alami. Misal, warna kuning didapat dari kunyit atau temulawak; merah berasal dari buah mengkudu, gambir, dan kesumba; hijau dari kabuau atau uar; ungu dari biji buah gandari; dan coklat dari kulit buah rambutan. Namun kini lebih banyak pengrajin menggunakan pewarna sintetis.

Seperti kain pada umumnya, kain sasirangan memiliki banyak motif. Di antaranya sarigading, ombak sinapur karang (ombak menerjang batu karang), hiris pudak (irisan daun pudak), bayam raja (daun bayam), kambang kacang (bunga kacang panjang), naga balimbur (ular naga), daun jeruju (daun tanaman jeruju), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), kulat karikit (jamur kecil), gigi haruan (gigi ikan gabus), turun dayang (garis-garis), kangkung kaombakan (daun kangkung), jajumputan (jumputan), kambang tampuk manggis (bunga buah manggis), dara manginang (remaja makan daun sirih), putri manangis (putri menangis), kambang cengkeh (bunga cengkeh), awan beriring (awan sedang diterpa angin), benawati (warna pelangi), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), turun dayang (garis-garis), dan sisik tanggiling. Selain itu, di tangan-tangan para pengrajin kreatif, muncul beragam motif yang tak kalah indah.

Kain sasirangan kian popular setelah dipakai sebagai seragam wajib pegawai negeri dan siswa sekolah di Kalimantan Selatan. Hal ini mendorong tumbuhnya industri rumahan yang memproduksi kain sasirangan.

Kain sasirangan tersedia di berbagai toko oleh-oleh di Kalimantan Selatan. Harganya ditentukan berdasar jenis kain dan motifnya. Semakin rumit motifnya semakin mahal harga kainnya.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Tim Indonesia Exploride

  • Hikajat Banjar
    Kain-Kain Kita karya Herman Jusuf
    Batik dan Sasirangan Sebagai Ide Dasar Penciptaan Busana Pesta Wanita. Tugas akhir dari Annisa Nur Jannah di Fakultas Seni Rupa dan Desai ISI Surakarta

This will close in 10 seconds