Cari dengan kata kunci

paniki_1290.jpg

Paniki, Kuliner Ekstrem dari Sulawesi Utara

Meski kontroversial, kelelawar atau paniki tetap menjadi sebuah tradisi kuliner kebanggaan masyarakat suku Minahasa.

Kuliner

Setiap negara, rasanya, memiliki hidangan ekstrem masing-masing. Dan tidak jarang masyarakat menganggap ganjil, aneh, atau sinis terhadap kekhasan budaya ini. Namun, apapun pendapat orang, kuliner-kuliner ini tetaplah merupakan sebuah warisan budaya suatu masyarakat.

Beragam hewan yang termasuk ekstrem diolah menjadi hidangan makanan di antaranya seperti anjing dan kucing. Konsumsi daging anjing dan kucing masih terjadi di beberapa negara seperti Korea, Tiongkok, Vietnam, dan beberapa wilayah di Asia. Meskipun hanya sebagian kecil masyarakat di negara-negara tadi yang mengonsumsi jenis daging tersebut, kenyataan ini masih kontroversial dan banyak dilarang sampai hari ini. 

Di sisi lain, daging kuda dikonsumsi di beberapa negara Eropa dan Asia. Di beberapa daerah di Eropa, daging kuda diolah menjadi steak atau hidangan panggang. Di beberapa bagian Asia seperti Korea dan Jepang, daging kuda dimakan dalam bentuk sushi atau panggang.

Di belahan dunia yang lain, serangga seperti belalang, jangkrik, dan larva serangga dimakan sebagai sumber protein. Di Thailand, misalnya, belalang dimakan sebagai camilan. Beberapa komunitas di Asia, Afrika, dan Australia memakan daging ular. Biasanya, ular dimasak seperti daging lainnya, bisa digoreng, direbus, atau dimasak dalam berbagai saus.

Satu lagi yang tidak kalah ganjil adalah kelelawar. Di beberapa negara Asia Tenggara, daging kelelawar dimasak dengan bumbu khas setempat. Di Indonesia, daging kelelawar lazim dikonsumsi oleh masyarakat Minahasa. Disebut dengan paniki, kelelawar justru diolah dengan bumbu khas tradisional dan jadi favorit bagi orang Manado.

Disebut dengan paniki, kelelawar justru diolah dengan bumbu khas tradisional dan jadi favorit bagi orang Manado.

Paniki Jadi Hidangan Spesial untuk Suku Minahasa

Paniki atau kelelawar merupakan hidangan khas yang menjadi kebanggaan kuliner dari Manado, Sulawesi Utara. Paniki telah menjadi bagian dari warisan kuliner Manado selama berabad-abad. Kehadirannya tidak hanya sebagai hidangan lokal, tetapi juga mencerminkan warisan budaya dan tradisi kuliner yang khas.

Paniki dipercaya memiliki rasa unik yang disukai oleh penduduk setempat. Rasanya yang khas dan berbeda, saat dimasak dengan rempah-rempah khas Sulawesi Utara, menjadi daya tarik tersendiri bagi pencinta kuliner yang ingin mencoba hal baru.

Meskipun terdapat pandangan berbeda, sebagian orang meyakini bahwa daging kelelawar memiliki sejumlah manfaat dan nilai gizi yang tinggi. Yang paling populer, kandungan alami dalam daging kelelawar dipercaya ampuh mengurangi dan mengobati masalah kulit yang diakibatkan alergi. Manfaat ini bisa terasa jika mengonsumsi kelelawar liar. Meskipun belum ada penelitian yang membuktikan, tapi sudah banyak orang mengaku merasakan khasiatnya. Selain menyembuhkan gatal dan alergi pada kulit, daging kelelawar juga dipercaya mampu menyembuhkan penyakit asma dan sesak napas. Kandungan senyawa kitotefin dalam kelelawar mirip dengan obat asma yang digunakan dalam dunia medis.

Kandungan senyawa kitotefin dalam kelelawar mirip dengan obat asma yang digunakan dalam dunia medis.

Beberapa orang juga percaya bahwa daging kelelawar memiliki kandungan protein yang tinggi dan manfaat kesehatan tertentu. Tidak hanya itu, kelelawar dipercaya masyarakat setempat kaya akan Omega-3, yang dipercaya mampu menambah kecerdasan. Katanya, daging kelelawar juga membantu mengurangi masalah terkait penuaan dini. Keriput dan garis halus pada wajah dianggap bisa berkurang dengan cara mengonsumsi daging kelelawar.

Hidangan paniki bukan hanya tentang rasa atau nilai gizi, tetapi juga tentang identitas dan tradisi lokal. Di Manado, hidangan paniki menjadi bagian penting dari identitas kuliner mereka yang turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi.

Mengolah Paniki Khas Manado

Diakui para pedagang di pasar tradisional, kebanyakan pembeli paniki adalah para pengusaha katering. Setidaknya, di satu lapak penjual paniki, ada lima sampai enam orang pengusaha katering yang berbelanja. Tapi, tidak jarang pula, masyarakat perorangan yang membeli paniki, meski tidak dalam jumlah banyak. Kebanyakan dari masyarakat ini, membeli paniki untuk dimasak sebagai hidangan spesial, seperti hari ulang tahun atau hari raya.

Mengolah paniki membutuhkan teknik yang benar. Teknik memasak paniki pun harus melewati beberapa tahap dan memakan waktu lama. Untuk bisa dinikmati kelelawar santan kering harus dimasak sekitar dua jam sampai santan kering dan meresap ke daging. Setelah dibersihkan dari bulu-bulunya, paniki kemudian dimasak dengan bumbu yang beragam. Bumbu utama adalah kelapa atau santannya, bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, daun serai, jahe dan lainnya. Ketika paniki dihidangkan, wangi masakan sudah sangat kuat tercium. Kemudian ketika disantap, rasa pedas khas masakan dari Manado sangat dominan.

Untuk bisa dinikmati kelelawar santan kering harus dimasak sekitar dua jam sampai santan kering dan meresap ke daging.

Berbagai olahan paniki kebanyakan dimasak ala rica-rica, woku, atau sup. Bumbu-bumbu seperti cabai, bawang bawang putih, serai, tomat, jahe, lengkuas, kunyit, daun jeruk, dan serai, dan rempah-rempah lainnya membuat olahan kelelawar khas Minahasa ini jadi istimewa. Meski menurut para penikmatnya daging paniki tidak sebanyak ayam atau daging hidangan umum lainnya, proses menikmati bumbu-bumbu di antara potongan hewan ini yang justru jadi kenikmatan tersendiri.

Peredaran Paniki di Sulawesi Utara

Kelelawar atau paniki tidaklah sulit untuk didapatkan di Sulawesi Utara. Di kota Manado, ada beberapa pasar sering disambangi para masyarakat yang ingin membuat olahan paniki. Ada Pasar Bersehati, Pasar Beriman, dan Pasar Pinasungkulan.

Bahkan, paniki menjadi salah satu alasan orang-orang memilih pasar tradisional sebagai tujuan wisatanya. Selain untuk mendapatkan barang-barang yang lebih terjangkau, ada pun yang hendak melihat keunikan apa yang terdapat di pasar tradisional. Dewasa ini, pasar tradisional sudah merambah ke dunia kepariwisataan. Bukan hanya barang dagangan lagi yang dijajakan, melainkan keunikan serta “keanehan” juga dipasarkan. 

Namun, berbeda dengan pasar tradisional lainnya, Pasar Beriman menyajikan beberapa dagangan yang jarang dijumpai di pasar tradisional lainnya. Dagangan tersebut oleh wisatawan atau pun oleh orang yang baru pertama kali ke tempat tersebut sering disebut dengan kuliner ekstrem Suku Minahasa.

Keberadaan kuliner ekstrem tersebut sering disebut-sebut sebagai daya tarik tersendiri untuk Pasar Beriman Kota Tomohon. Cara yang tidak biasa untuk memperdagangkan daging hewan di pasar itu membuat para pelancong atau wisatawan menjadi penasaran dan seakan tidak mau melewatkan pengalaman tersebut ketika mengunjungi Pasar Beriman.

Keberadaan kuliner ekstrem tersebut sering disebut-sebut sebagai daya tarik tersendiri untuk Pasar Beriman Kota Tomohon.

Pasar Pinasungkulan, yang menjajakan berbagai hewan ekstrem, juga tak pernah sepi dari pengunjung. Pasar Pinasungkulan Karombasan, Manado, Sulawesi Utara, ramai seperti biasa. Pasar ini menjadi pilihan penyuka kuliner ekstrem, seperti daging ular, babi hutan, anjing, bahkan kelelawar.

Perlu dicatat bahwa kebiasaan dan preferensi kuliner berbeda-beda di berbagai budaya. Penikmat kuliner lokal biasanya memiliki preferensi rasa yang khas dan terbiasa dengan hidangan tradisional mereka yang menjadi bagian dari identitas dan warisan budaya. Bagi penduduk Manado, kelelawar atau paniki bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga bagian penting dari identitas dan warisan budaya kuliner mereka.

Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut, Askhari Dg Massiki, menyebut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah mengeluarkan kuota penangkapan satwa liar yang tidak dilindungi. Penentuan kuota tersebut juga melalui rekomendasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang telah mengkaji terlebih dahulu.

Pada 2022, BKSDA Sulut membatasi kuota penangkapan dan pemanfaatan kelelawar hitam maksimal 150 ekor setahun. Sejak tahun 2021, BKSDA Sulut bekerjasama dengan Wildlife Conservation Society (WCS) dan Universitas Indonesia (UI) meneliti dampak ekonomi perdagangan dan konsumsi satwa liar di Sulut. Tujuannya untuk bisa memberikan solusi alternatif ekonomi masyarakat selain berdagang satwa liar. Guna mencegah semakin masifnya perburuan liar, BKSDA Sulut juga mendorong agar masyarakat membuat penangkaran sendiri jika masih ingin mengonsumsi kelelawar hitam. Masyarakat yang memiliki izin penangkaran diwajibkan mengembalikan kelelawar hitam berusia dewasa ke alam bebas sebanyak 10% dari jumlah yang ada di penangkaran.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • budaya indonesia, food detik, kompas, tribun manado, bbc,

This will close in 10 seconds