Cari dengan kata kunci

tari_topeg_ie_1290

Tari Topeng, Permainan Watak Penuh Makna

Dari kesenian keraton menjadi kesenian rakyat. Topeng dan gerak tariannya melambangkan sifat manusia.

Kesenian

TARI topeng Cirebon, Jawa Barat, merupakan seni tari pertunjukan yang sarat simbol penuh makna yang diharapkan bisa dipahami penontonnya. Simbol-simbol itu disampaikan melalui warna topeng, jumlah topeng, dan jumlah gamelan pengiringnya. Makna yang disampaikan bisa berupa nilai kepemimpinan, cinta, atau kebijaksanaan yang disampaikan melalui media tari.

Siapa empu pencipta tarian ini tak diketahui. Kemunculannya pun ada banyak versi. Salah satunya menyebut tari topeng sudah dikenal pada masa Majapahit. Jacob Sumardjo dalam Arkeologi Budaya Indonesia menyebut Raja Hayam Wuruk menari dengan topeng terbuat dari emas. Setelah jatuhnya Majapahit. tarian ini dipertahankan sultan-sultan Demak dengan kemasan baru. Dari Demak, tarian ini menyebar ke daerah lainnya, termasuk Cirebon, yang pernah berada di bawah pengaruh Demak.

Di Cirebon, tari ini tetap menjadi kesenian keraton. Suatu ketika raja-raja Cirebon tak punya cukup dana untuk memelihara semua kesenian keraton. Akibatnya, para penari dan penabuh gamelan mencari sumber pendapatan di luar keraton. Tari topeng pun menyebar dan menjadi kesenian rakyat.

Tari topeng Cirebon kemudian mengalami transformasi. Muncullah dua tipologi tari topeng Cirebon. Pertama, topeng Cirebon wilayah barat, yakni Gegesik, Slangit, dan Palimanan di Kabupaten Cirebon; Pekandangan dan Tambi di Kabupaten Indramayu; serta Bongas di Kabupaten Majalengka. Kedua, topeng Cirebon wilayah timur, yakni Losari. Masing-masing memiliki gaya atau ekspresi tarian yang berbeda.

Nama daerah-daerah tersebut kemudian melekat pada tari topeng. Selain itu, ada pula penyebutan lain untuk menunjukkan ciri dan gaya menari dari dalang topeng (penari topeng). Sebagai contoh, “topeng Rasinah” untuk menyebut tarian yang dibawakan Mimi Rasinah, salah satu maestro yang pernah dimiliki Indonesia.

Setiap dalang topeng punya ciri khas, estetika, dan kemampuan masing-masing dalam menafsirkan tarian-tariannya. Menurut Lasmiyati dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung dalam “Rasinah: Maestro Tari Topeng Indramayu” di jurnal Patanjala Vol. 5 No. 3, September 2013, Rasinah mempunyai gaya yang spesifik, yaitu gerak mengular ngalageday dengan diiringi suara gamelan yang lembut dan tidak gemuruh. Urutan gerak daner adalah topeng slangit, dodoan, unggah tengah, dan deder.

Kendati gerak tarian di masing-masing daerah atau yang dibawakan penari topeng berlainan, bentuk topeng dan tokohnya tetap sama. Total jumlah topengnya ada sembilan, yang dibagi menjadi dua kelompok: lima topeng pokok (panji, samba atau pamindo, rumyang, tumenggung atau patih, kelana atau rahwana) dan empat topeng lainnya (pentul, nyo atau sembelep, jingananom, dan aki-aki) digunakan jika lakon yang dimainkan berjudul Jaka Blowo, Panji Blowo, atau Panji Gandrung.

Lima topeng pokok disebut sebagai “Topeng Panca Wanda”, artinya topeng lima watak, yang akan mempengaruhi gerakan yang dibawakan penari topeng. Topeng panji, wajahnya putih bersih seperti bayi baru lahir. Gerakan tari topeng panji pun halus dan lembut. Topeng samba atau pamindo berkarakter anak-anak sehingga gerakan tariannya ceria, lucu, dan lincah. Topeng rumyang menggambarkan sifat keremajaan sehingga banyak menampilkan gerakan ganjen (genit). Topeng tumenggung menggambarkan orang dewasa yang gagah, tegas, dan bertanggung jawab sehingga gerakannya laksana seorang patih atau tumenggung. Sementara topeng kelana atau rahwana berkarakter kasar, serakah, penuh amarah, dan tak bisa mengendalikan hawa nafsu. Gerak tariannya agresif, energik, angkatan kakinya dibuat tinggi dan rentangan tangannya lebar sebagai penggambaran gerakan yang kuat dan keras.

“Menyaksikan tari topeng Cirebon sesungguhnya kita menonton sekaligus mempelajari beberapa mitologi dari ajaran agama dan moral,” tulis Dadang Kusnandar dalam Cirebon: Silang Peradaban.

Kelima topeng itu bisa dibedakan dari warnanya. Topeng panji berwarna putih, parmindo berwarna kuning muda, rumyang merah muda, tumenggung berwarna coklat, dan kelana berwarna merah.

Tari topeng Cirebon biasanya diawali dengan gerakan membungkuk sebagai bentuk penghormatan kepada penonton sekaligus tanda tarian akan segera dimulai. Setelah itu kaki penari digerakkan melangkah maju-mundur diiringi rentangan tangan dan lemparan senyum kepada penonton. Gerakan dilanjutkan dengan membelakangi penonton dan menggoyangkan pinggul sambil memakai topeng sesuai karakter yang akan dibawakannya.

Setelah menari berputar-putar, tubuh penari kembali membelakangi penonton sambil mengganti topeng dengan karakter yang berbeda. Saat mengenakan topeng, bunyi gamelan jadi perlambang dari karakter tokoh yang diperankan. Alunan musik paling keras adalah ketika penari hendak mengenakan topeng berwarna merah tua sebagai perlambang nafsu angkara murka.

Busana penari meliputi baju kutung lengan pendek, celana panjang di bawah lutut (sontog) penutup dada yang dikenakan di bahu (mongkron), “dasi”, selendang di pinggang (sampur atau soder), ikat pinggang (badong), tutup kepala (sobrah), serta gelang tangan dan kaki.

Penari diiringai waditra atau gamelan berlaras pelog, salendro atau prawa yang terdiri atas kendang (dua buah), kendang kecil (dua buah), saron kecil, bonang, kenong, dan jengglong, saron (dua set), tutukan dan kebluk, kelenang, kademung, kempul, dan gong keprak, suling, dan kemanak.

Tari topeng sempat berjaya pada masa Orde Lama. Kedekatannya dengan kelompok kiri membuat tari topeng meredup di awal Orde Baru. Menjamurnya musik dangdut dan tarling menambah tenggelam kesenian tari topeng. Meski ada upaya mengembangkan kembali tari topeng, termasuk munculnya sangar-sangar, tari topeng tetap dalam kondisi sulit. Apalagi umumnya kemampuan menari yang mumpuni diwariskan secara turun-temurun.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Tim Indonesia Exploride

  • Dadang Kusnandar. Cirebon: Silang Peradaban. Yogyakarta: Gapura Publishing.com, 2012.
    Jacob Sumardjo. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Qalam. 2002.
    Lasmiyati. “Rasinah: Maestro Tari Topeng Indramayu”, jurnal Patanjala Vol. 5 No. 3, September 2013.

This will close in 10 seconds