Cari dengan kata kunci

Tari Kabasaran, Tarian Ksatria Minahasa

tarian_kabasaran_ie_1290

Tari Kabasaran, Tarian Ksatria Minahasa

Bermula dari tarian perang berubah menjadi tarian penyambutan tamu. Memadukan tiga tarian dalam ritual adat yang berbeda.

Kesenian

WAJAH mereka terlihat garang, dengan mata melotot, dan tanpa senyuman. Bersenjatakan pedang dan tombak, mereka bergerak melompat, maju-mundur, dan mengayunkan senjata dengan sigap. Terlihat seperti prajurit yang berperang menghancurkan musuh. Tak jarang aksi mereka mengejutkan orang-orang yang melihatnya sehingga berteriak: “arotei, okela” –aduh bukan main, astaga.

Itulah kabasaran, tarian tradisional masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara. Tari kabasaran dahulu dimainkan oleh para penari laki-laki yang umumnya bekerja sebagai petani atau penjaga keamanan desa-desa di Minahasa. Jika sewaktu-waktu wilayah mereka terancam atau diserang musuh, mereka meninggalkan pekerjaan dan berubah menjadi waranei atau prajurit perang.

Menurut adat, penari kabasaran harus berasal dari keturunan sesepuh penari kabasaran. Mereka juga memiliki senjata yang diwariskan dari para leluhur. Senjata inilah yang dipakai saat menari.

Kemunculan tarian ini tak bisa dipisahkan perang berkepanjangan dan ancaman dari suku-suku lain yang berdekatan. Untuk mempertahankan diri, leluhur orang Minahasa berusaha memperkuat diri dengan merekrut orang-orang kuat dan berbadan besar yang dilatih berperang dengan menggunakan pedang (santi) dan tombak (wengko).

Menurut Vivi Nansy Tumuju dalam “Simbol Verbal dan Nonverbal Tarian Kabasaran dalam Budaya Minahasa” di Jurnal Duta Budaya, No. 78-01 Tahun ke-48, Juni/Juli 2014, para ksatria yang tuama (bersifat jantan) atau wuaya (berani) inilah militer pertama di Minahasa. Mereka harus menjadi penjaga desa (walak) yang harus siap siaga jika ada ancaman.

“Gerakan-gerakan para prajurit ketika mereka sedang mempersiapkan diri untuk berperang, seperti lompatan, lompatan maju menyerang, mundur atau menyamping untuk menghindari dan menangkis serangan musuh disertai jeritan menakutkan. Itulah yang disebut cakalele atau dalam Minahasa tua sakalele,” ungkap Vivi.

Dari tari cakelele ini pula lahir tari kabasaran. Sutisno Kutoyo dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara menyebut tari kabasaran merupakan penyederhanaan dan penghalusan dari cakalele, tari perang sekaligus pemujaan leluhur. Tujuan tari cakalele dirasakan kurang ramah menyambut tamu-tamu Belanda, karena gerakan-gerakannya yang kasar dan liar.

“Dengan menggunakan gerakan-gerakan quadrille yang diperkenalkan Spanyol maka diciptakanlah tari kabasaran sebagai tari untuk menyambut tamu-tamu Belanda,” catat Sutisno Kutoyo.

Istilah kabasaran sendiri merupakan perubahan dari kawasaran. Kawasaran berasal dari kata wasar yang artinya ayam jantan aduan yang sengaja dipotong jenggernya (sarang) agar lebih galak saat diadu. “Jadi kabasaran artinya penari yang menari seperti gaya gerak dua ekor ayam yang sedang menyabung, atau identik dengan ayam aduan,” ungkap Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa.

Dulu setiap kampung memiliki beberapa penari kabasaran. Organisasi kabasaran ditangani oleh para “Hukum Tua” atau kepala kampung. Mereka mendapat tunjangan garam, beras, gula putih, kain dan tembakau setiap bulan.

“Mereka bertugas melakukan penjemputan adat para tamu agung, upacara adat pemakaman pemimpin masyarakat, dan sebagai Polisi Am untuk menjaga keamanan kampung dan menangkap penjahat,” tambah Wenas.

Gerakan tari kabasaran enerjik melambangkan semangat seorang prajurit perang, tapi juga dinamis mengikuti irama alat musik. Semua gerakan tari berdasarkan komando atau aba-aba dari pemimpin tari yang disebut tombolu, yang dipilih sesuai kesepakatan para sesepuh adat. Tarian diiringi alat musik pukul seperti gong, tambur, atau kolintang.

“Penari yang terluka biasanya karena kesalahan sendiri, yang dalam hal ini si penari kurang menguasai sembilan jurus memotong dengan pedang dan sembilan jurus tusukan tombak,” ujar Wenas.

Tari kabasaran terdiri dari tiga babak, yang berasal dari tiga tarian dalam upacara adat berbeda: cakalele dari upacara sebelum dan setelah kembali berperang; kumoyak berasal dari upacara korban kepala manusia; dan lalaya’an dari upacara menghilangkan panas jimat-jimat yang melekat di badan.

Masing-masing babak punya gerakan yang berbeda. Babak pertama, cakalele; berasal dari kata “caka” yang artinya bertarung dan “lele” artinya mengejar. Pada babak ini, gerakan penari layaknya bertarung. Penari berpura-pura saling menebas dengan pedang dan menusuk dengan tombak dalam iringan langkah irama 4/4 sesuai bunyi tambor.

Kedua, kemoyak; berasal dari kata “koyak” yang berarti mengayunkan senjata. Kata koyak juga bisa diartikan membujuk roh musuh yang terbunuh dalam pertempuran agar bisa tenang. Pada babak ini, para penari benar-benar memainkan senjata dengan gerakan mendorong maju. Tarian juga diikuti puisi yang dilantunkan seorang pemimpin tari dan akan disambut sorakan para prajurit.

Menurut Wenas, dulu ini merupakan tarian membawa kepala manusia. Pada tarian ini para kabasaran membentuk lingkaran lalu menari mengelilingi kepala manusia yang diletakkan di tengah lingkaran sambil menyanyi lagu Koyak e waranei, lagu patriotik keprajuritan tradisional Minahasa tempo dulu.

Ketiga, lalaya’an dimana penari meletakkan senjata tajam sambil menari lionda dengan penuh senyuman. Lionda, kata Wenas, berarti meletakkan tangan di pinggang dan berdiri dengan satu kaki terangkat. Berbeda dari babak-babak sebelumnya, penari menanggalkan ekspresi serius dan tampang sangar. Mereka bisa menari sambil tersenyum, sebagai simbol membebaskan rasa amarah setelah selesai berperang.

Kostum para penarik tak kalah menarik. Kostum terbuat dari kain tenun khas Minahasa, yang didominasi warna merah. Para penari juga memakai topi bulu ayam atau bulu burung cenderawasih, kalung, gelang, dan aksesoris lainnya.

“Dahulu pakaian penari sama dengan penari cakalele, tapi sekarang pakaian bebas asalkan berwarna merah,” catat Sutisno Kutoyo.

Tari kabasaran lestari hingga saat ini. Beberapa kelompok tari masih merawat kesenian tradisional ini di sejumlah wilayah di Minahasa seperti Tombulu (Desa Kali, Desa Warembungan, Kota Tomohon), Tonsea (Desa Sawangan), Kota Tondano, dan Tontembuan (Desa Tareran).

Tari kabasaran juga kerap ditampilkan dalam acara penyambutan tamu, kenaikan pangkat pejabat di wilayah Sulawesi Utara, upacara adat pernikahan, dan kegiatan sosial lainnya. Bahkan pernah ikut membuka pesta olahraga Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Tim Indonesia Exploride

  • Jessy Wenas. Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Manado: Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, 2007.
    Sutisno Kutoyo. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1984.
    Vivi Nansy Tumuju. “Simbol Verbal dan Nonverbal Tarian Kabasaran dalam Budaya Minahasa”, Jurnal Duta Budaya, No. 78-01 Tahun ke-48, Juni/Juli 2014.