Cari dengan kata kunci

vihara_tri_darma_1290.jpg

Vihara Tri Dharma Bumi Raya, Ikon Kota Singkawang

Tempat peribadatan umat Tri Dharma yang tertua di Singkawang dan jadi objek wisata yang menarik dikunjungi.

Pariwisata

SAAT perayaan Imlek dan Cap Go Meh, Vihara atau Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya selalu ramai. Umat Tri Dharma berdatangan dari berbagai tempat, baik dari Kota Singkawang, kota lain di Kalimantan Barat, kota-kota besar di Indonesia, maupun dari luar negeri.

Sore hari sebelum Cap Go Meh, para tatung atau loya (sebutan bagi dukun Tionghoa) akan datang ke vihara untuk meminta izin dan restu kepada Dewa Bumi Raya. Barulah kemudian mereka berkeliling kota menjalankan ritual pembersihan roh jahat.

Ritual itu yang disebut Pawai Tatung menarik untuk ditonton. Sebuah tradisi Tionghoa yang berbalut dengan budaya Dayak. Dalam acara ini dihadirkan atraksi yang menegangkan di mana para tatung menusuk tubuh mereka dengan benda-benda tajam.

“Ritual tersebut untuk menghindarkan diri dari bahaya, yang kemudian disebut pantang harimau putih oleh warga Tionghoa,” tutur Alung, salah satu pengurus Vihara Tri Dharma Bumi Raya.

Para pengunjung yang ingin bersembahyang biasanya mendaftarkan diri ke petugas dengan menyebutkan nama dan keinginan mereka. Petugas akan mengarahkan ke satu tempat untuk bersembahyang. Petugas inilah yang kemudian “berdialog” dengan Dewa.

Sambil membakar dupa, pengunjung melakukan sembahyang kepada dewa-dewa, memohon keselamatan dan perlindungan dari roh-roh jahat. Setelah selesai, mereka keluar lewat sisi kanan kuil sambil membawa kertas kuning. Kertas itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang pembakaran berbentuk seperti kuil bertingkat yang menjulang tinggi.

Di sisi kanan kuil ada taman kecil dengan lukisan kehidupan masyarakat Tionghoa. Lukisan itu menggambarkan keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan.

Pada pagar vihara, terdapat simbol-simbol yang dipercaya membawa kebaikan bagi warga Tionghoa. Ada gambar bunga teratai yang dianggap simbol kesempurnaan karena bunga ini mampu hidup di tiga alam berbeda. Ada gambar hewan seperti naga. Lalu gambar koin yang dikelilingi kelelawar sebagai simbol kemakmuran.

Vihara Tri Dharma Bumi Raya merupakan tempat peribadatan umat Tri Dharma (Buddha, Tao, dan Konghucu) yang tertua di Singkawang, Kalimantan Barat. Sudah berdiri sejak 1878, vihara itu kini menjadi ikon kota.

Sejak dulu Singkawang memiliki banyak kelenteng atau vihara. Tak heran jika Singkawang mendapat julukan “Kota Seribu Lampion” dan “Kota Seribu Kelenteng”.

Tapi sebelum menjadi kota seperti sekarang, dulu Singkawang adalah sebuah desa di wilayah Kesultanan Sambas, Desa ini merupakan tempat singgah para pedagang dan penambang emas di Monterado, yang kini masuk Kabupaten Bengkayang, sebelah timur Singkawang.

Any Rahmayani dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Pontianak dalam “Montrado 1818-1858, Dinamika Kota Tambang Emas” di jurnal Patanjala Vol. 7 No. 2, Juni 2015, dalam catatan para pejabat kolonial, Montrado sering disebut sebagai bekas kota tambang besar di Borneo Barat.

Umumnya para penambang emas berasal dari Tiongkok, terutama dari suku Hakka. Mereka membentuk pemukiman dan kongsi-kongsi emas di Montrado. Singkawang memiliki kelengkapan yang sempurna bagi pusat kongsi pertambangan emas di Montrado. “Oleh karena Singkawang dikatakan sebagai kota satelit bagi Montrado,” catatnya.

Karel Juniardi dan Emusti Rivasintha Marjito, sejarawan IKIP PGRI Pontianak, dalam “Urgensi Pendidikan Multikultural dalam Masyarakat Plural (Studi Kasus di Kota Singkawang)” di Jurnal Handep, Vol. 1, No. 2, Juni 2018, menyebut sebelum menuju Monterado mereka terlebih dulu beristirahat di Singkawang. Begitu pula para penambang emas di Monterado sering beristirahat di Singkawang untuk melepas penat.

“Para pendatang dari etnis Tionghoa ini membaur dengan penduduk yang telah menetap lebih dahulu di sekitar Singkawang yakni penduduk Melayu dan Dayak,” jelasnya.

Pada abad ke-19 Montrado melewati masa kejayaannya. Para penambang pindah ke Singkawang dan beralih profesi menjadi petani serta pedagang. Di Singkawang, mereka tetap mempraktikkan tradisi dan budaya leluhur, termasuk dengan mendirikan kelenteng atau vihara.

“Di Singkawang kelenteng atau vihara yang terkenal adalah Vihara Tri Dharma Bumi Raya,” tulis Karel Juniardi dan Emusti Rivasintha Marjito.

Kebutuhan akan tempat ibadah juga timbul karena kondisi Singkawang masih berupa hutan belantara. Menurut kepercayaan orang Tionghoa, setiap hutan konon memiliki roh penjaga yang melindungi kawasan itu.

“Maka vihara untuk peribadatan terhadap Dewa Bumi Raya (Tua Peh Kong) dibangun sebagai pelindungnya. Orang pandai menjalankan ritual keagamaan asal Tiongkok bersama Lie Shie dipercaya membawa patung Dewa Bumi Raya dari daratan Tiongkok dan membangun kelenteng,” kisah Alung.

Vihara Tri Dharma Bumi Raya berlokasi di Jalan Kelurahan Melayu, Kecamatan Singkawang Barat. Awalnya pondok sederhana sebagai tempat transit orang dari luar Singkawang. Sekira 1920, pondok itu dirobohkan. Dibangunlah vihara yang permanen.

Saat kebakaran besar melanda Singkawang pada 1930-an, vihara ini ikut ludes. Meski sempat dilarang pemerintah kolonial Belanda, vihara dibangun lagi. Patung Tua Peh Kong dan istrinya yang selamat dari kebakaran dipasang di vihara baru. Di kiri-kanannya terdapat patung Dewa Kok Sing Bong dan On Chi Siu Bong, sedangkan di bagian tengah terdapat patung Budha Gautama.

Menurut pendiri Yayasan vihara Tri Dharma Bumi Raya, yang membedakan vihara ini dengan yang lain adalah keberadaan Ru Yi atau simbol kekuasaan dan keberuntungan di tangan kanan patung Tua Peh Kong. Sementara di vihara lain, patung Tua Peh Kong membawa tongkat dengan botol arak.

Menurut M. Ikhsan Tanggok dalam Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di Singkawang, sebagian besar orang Hakka di Singkawang menganut agama Buddha. Namun, dalam keseharian mereka masih mempraktikkan ajaran Konghucu dan Tao. Ketiga ajaran ini saling mengisi dan melengkapi dan dijadikan pedoman hidup. Sebagian besar kelenteng di Singkawang bercorak Tri Dharma, yang dapat difungsikan umat Tao, Konghucu, dan Buddha untuk beribadah.

“Ini menunjukkan bahwa orang Hakka di Singkawang sangat toleran terhadap agama-agama di luar keyakinan mereka,” catat M. Ikhsan Tanggok.

Lokasi vihara yang berada di pusat Kota Singkawang memudahkan pengunjung untuk berkunjung.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Any Rahmayani. “Montrado 1818-1858, Dinamika Kota Tambang Emas”, jurnal Patanjala Vol. 7 No. 2, Juni 2015.
    Karel Juniardi dan Emusti Rivasintha Marjito. “Urgensi Pendidikan Multikultural dalam Masyarakat Plural (Studi Kasus di Kota Singkawang). Handep, Vol. 1, No. 2, Juni 2018.
    M. Ikhsan Tanggok. Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di Singkawang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015.

This will close in 10 seconds