Cari dengan kata kunci

Tari_Ratoh_1290.jpg

Tari Ratoh Jaroe Gerakan Harmoni Bernuansa Islami

Seni kreasi yang menjadi simbol kekompakan, keramahan, sekaligus kebangkitan masyarakat Aceh.

Kesenian
Tagar:

Minggu sore itu, suasana di halaman Tugu Api Taman Mini Indonesia Indah sedikit berbeda. Ribuan penari, yang mengenakan pakaian beraneka warna, sudah berbaris rapi dan membentuk formasi.

Begitu rapai (alat musik pukul khas Aceh) dimainkan dan syair-syair keagamaan dilantunkan, seluruh penari mulai menari. Dengan kompak, mereka melakukan gerakan tangan dan sesekali kepala dalam posisi duduk, berlutut, atau membungkuk. Para penonton begitu antusias menyaksikan pertunjukan tari ratoh jaroe (ada pula yang menuliskan ratoeh jaroe), salah satu tarian khas dari Aceh.

Secara etimologi, ratoh jaroe berasal dari kata ratoh yang berarti berkata atau berbincang dan “jaroe” (jari tangan).

Secara etimologi, ratoh jaroe berasal dari kata ratoh yang berarti berkata atau berbincang dan “jaroe” (jari tangan). Dengan demikian tarian ini punya makna melantunkan syair atau menceritakan sebuah kisah dengan diiringi petikan-petikan jari tangan.

Tarian ini diciptakan Yusri Saleh atau akrab dipanggil Dek Gam, seniman asal Aceh, tahun 2000. Namun nama “ratoh jaroe” berasal dari koreografer asal Aceh, Khairul Anwar, yang pernah bekerja sama dengan Dek Gam.

Laman Ensiklopedia Jakarta menyebut tari ratoh jaroe berawal dari keprihatinan Dek Gam saat pertama kali menginjakkan kakinya di Jakarta. Hanya ada satu tarian duduk bernama rampai Aceh. Itu pun tidak menggunakan rapai melainkan hanya vokal. Dek Gam kemudian mengembangkan tarian duduk ini dengan meracik berbagai gerakan tari asal Aceh seperti ratoh duek, rateb meuseukat, rapai geleng, dan likok pulo. Musik pengiring ditambahkan di dalamnya, terutama rapai yang dikendalikan oleh seorang syahi, pemain musik sekaligus bertindak sebagai vokalis.

Tari ratoh jaroe merepresentasikan semangat dan keanggunan perempuan Aceh yang terkenal tangguh sejak dahulu.

“Tari ratoh jaroe merepresentasikan semangat dan keanggunan perempuan Aceh yang terkenal tangguh sejak dahulu. Pemberani, pantang menyerah, pantang mundur, militan, dan sangat kompak antara satu dengan lainnya,” tulis Ensiklopedia Jakarta.

Menurut Riska Gebrina dalam penelitian berjudul “Bentuk Penyajian Tari Kreasi Ratoh Jaroe di Sanggar Budaya Aceh Nusantara” di jurnal Invensi Vol. 3 No. 2, 2018, tari ratoh jaroe lahir untuk membangkitkan kembali semangat masyarakat Aceh dari keterpurukan akibat konflik maupun bencana alam. Selain itu, tarian ini menjadi medium untuk menyiarkan nilai Islam melalui syair-syair yang melantunkan pujian-pujian kepada Allah.

Tari ratoh jaroe berfungsi sebagai salah satu media dakwah.

“Fungsi tari ratoh jaroe sebagai salah satu media dakwah yang mencerminkan nilai-nilai pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan, dan kebersamaan yang diperlihatkan melalui gerakan jari tangan penari,” sebut Riska Gebrina.

Biasanya, tari ratoh jaroe disajikan dalam perayaan adat dan menjadi hiburan bagi masyarakat. Temanya beragam namun menyangkut aspek kehidupan masyarakat. Misalnya, kisah perantauan, kesedihan, kegembiraan, nasihat, dan membangkitkan semangat dari keterpurukan.

Tari ratoh jaroe memiliki 33 gerakan dan lima kali pengulangan gerak. Penari secara khusus menggunakan tubuh bagian atas –terutama tangan, lengan, dan kepala–  untuk melakukan koreografi dalam posisi duduk. Mereka menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Aceh mengikuti tempo yang dimainkan dua penabuh rapai.

Maho A. Ishiguro dalam “Ratoh Jaroe: Islam, Youth, and Popular Dance in Jakarta, Indonesia”, Yearbook for Traditional Music, Vol. 51, November 2019, menyebut tempo pertunjukan tarian ini cenderung lebih cepat daripada tarian tradisional Aceh, yang mempengaruhi teknik bermain rapai serta kualitas estetika gerakan tari.

“Singkatnya, ratoh jaroe adalah perpaduan tari tradisional Aceh dengan modifikasi gerak, estetika dan musik pengiring yang berbeda,” sebut Ishiguro.

Tari ratoh jaroe sekilas mirip tari saman yang begitu populer di Aceh.

Tari ratoh jaroe sekilas mirip tari saman yang begitu populer di Aceh. Hal ini tidaklah mengherankan. Sebab, menurut Sumandiyo Hadi, guru besar Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dalam Revitalisasi Tari Tradisional, tari ratoh jaroe bisa dianggap sebagai revitalisasi dari tari saman yang lebih tradisional.

Namun, ada perbedaan di antara kedua tarian itu. Jika saman menonjolkan gerakan badan, ratoh jaroe lebih dominan gerakan tangan serta gabungan dengan gerakan badan. Kalau saman hanya dimainkan oleh laki-laki dengan jumlah ganjil, ratoh jaroe dilakoni kaum perempuan dengan jumlah genap. Penyajian saman murni diiringi tepukan tangan, tepukan dada, dan syair yang dilantunkan pengangkat dan diikuti oleh para penarinya. Sedangkan ratoh jaroe biasanya diiringi musik rapa’i.

Tarian ini lebih banyak duduk atau berlutut di tempat.

Menurut Sumandiyo Hadi, tari ratoh jaroe akan lebih menarik jika dibawakan oleh penari dalam kelompok besar lebih dari sepuluh penari dan biasanya genap. Sebab, tarian ini lebih banyak duduk atau berlutut di tempat, bergerak sambil mendendangkan lagu dengan syair-syair berisi petuah-petuah. Sebagian besar dengan menampilkan gerakan motif-motif gerak kelompok seperti rampak, selang-seling, maupun bergantian.

“Sehingga apabila motif-motif gerakan seperti itu bisa dilakukan dengan rampak-simultan bersama-sama menjadi lebih menarik atau menakjubkan,” tulis Sumandiyo.

Penari ratoh jaroe mengenakan busana tertutup rapat sesuai syariat Islam. Terdiri dari atasan model baju kurung lengan panjang berbahan polos dengan dominasi warna dasar merah, kuning, atau hijau. Bagian depan baju dikombinasi dengan tenun Aceh yang biasanya berwarna kuning emas untuk menutupi bagian dada. Kostum bagian bawah berupa celana panjang berbahan polos dengan warna gelap.

Songket khas Aceh dikenakan di pinggang berpadu dengan warna busananya yang cerah. Penari juga mengenakan hijab warna polos dilengkapi ikat kepala polos yang berwarna atau bisa juga bercorak. Bentuk ikat kepala bisa dikreasikan sesuai keinginan koreografer, yang penting tetap menjaga kerapatan dan kerapian hijab.

Karena lahir di Jakarta, tari ratoh jaroe populer di kalangan anak muda Jakarta.

Karena lahir di Jakarta, tari ratoh jaroe populer di kalangan anak muda Jakarta, terutama siswi sekolah menengah dari keluarga kelas menengah sosial ekonomi. Kata Ishiguro, tarian ini lebih populer di Jakarta daripada di Aceh. Bahkan, karena alasan ini pula banyak pelatih tari Aceh berpendapat bahwa bentuk tarian ini milik Jakarta.

Kendati demikian, ratoh jaroe berhasil memikat publik lebih luas. Tari ratoh jaroe dipertontonkan dalam helatan akbar Asian Games 2018 dan berhasil menimbulkan decak kagum.*

Tagar:
Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Maho A. Ishiguro. “Ratoeh Jaroe: Islam, Youth, and Popular Dance in Jakarta, Indonesia”, Yearbook for Traditional Music, Vol. 51, November 2019.
    “Ratoh Jaroe, Seni Tari”, laman Ensiklopedia Jakarta, http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/ Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, 2019
    Riska Gebrina. “Bentuk Penyajian Tari Kreasi Ratoeh Jaroe di Sanggar Budaya Aceh Nusantara (Buana, Banda Aceh)”, jurnal Invensi, Vol. 3 No. 2, Desember 2018.
    Y. Sumandiyo Hadi. Revitaslisasi Tari Tradisional. Yogyakarta: Cipta Media, 2018.

This will close in 10 seconds