Cari dengan kata kunci

ragey_1290.jpg

Menyantap Sate Ragey

Sate khas Sulawesi Utara dengan potongan daging jumbo.

Kuliner

Tidak dapat dimungkiri bahwa sate telah menjadi salah satu kuliner yang melekat pada identitas Indonesia. Kehadirannya dalam berbagai kesempatan di kancah internasional adalah salah satu buktinya. Sate kerap menjadi salah satu menu yang diperkenalkan kepada masyarakat internasional sebagai representasi kuliner khas Indonesia.

Dilansir dari laman Universitas Gadjah Mada, Indonesia saat ini memiliki sekitar 252 jenis sate. Jenis-jenis sate ini pun tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Mulai dari sate ayam khas Madura, Sate maranggi khas Purwakarta, sate lilit khas Bali, hingga sate kambing khas Tegal. Salah satu jenis sate yang juga wajib berada dalam daftar menu para penggemar sate dan yang dapat mengonsumsi jenis makanan non-halal, adalah sate ragey khas Sulawesi Utara.

Asal Usul Ragey

Ragey merupakan jenis makanan tradisional yang terdapat di Minahasa, Sulawesi Utara dan dikembangkan mayoritas oleh suku Tontemboan. Ada dua versi asal usul kata “ragey” yang digunakan pada sate ragey, tapi keduanya memiliki makna yang sama. Versi pertama adalah kata tersebut berasal dari kata “rumagey” yang berarti membakar sesuatu, khususnya daging, di atas bara api. Versi lain mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari kata “rageyen” yang secara harfiah berarti “minta tolong dibakar”. Kata ini sering disebut oleh seseorang jika membeli daging di pasar dan meminta daging tersebut dibakar.

Ragey berasal dari kata “rumagey” yang berarti membakar sesuatu, khususnya daging, di atas bara api.

Meski tidak ada rekaman catatan atau sejarah yang dapat memastikan waktu tepat ragey mulai muncul dalam ranah kuliner Minahasa, cerita yang berkembang di kalangan masyarakat menyebut bahwa ragey sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Hal ini dipercaya karena kehadiran daging babi dalam sebuah acara atau pesta menandakan kemeriahan dan eksklusivitas pesta tersebut. Cara pengolahan ragey pun merupakan salah satu warisan yang diteruskan secara turun-temurun.

Dalam sebuah pesta atau acara di Minahasa, biasanya para anggota keluarga yang lain datang untuk membantu secara sukarela. Mereka akan berbagi tugas seperti membuat tenda, mengumpulkan kayu bakar, mengatur area pesta, dan lainnya. Biasanya, sebagai tanda terima kasih, mereka akan disajikan hidangan dari daging babi yang dipanggang atau ragey.

Sejarah dan Cita Rasa Sate Ragey

Sate ragey seperti yang dikenal sekarang pertama kali dipopulerkan oleh pemilik Rumah Makan Ragey, Talikuran, Kawangkoan, Minahasa, yang bernama Adri Lomboan-Tarandung. Menurut cerita sang istri, Adri yang sebelumnya berprofesi sebagai tukang potong babi memiliki ide untuk menjual sate daging babi bakar. Pada awalnya, rumah makan mereka hanya dikunjungi oleh sopir-sopir lantaran lokasinya yang berada di depan sebuah SPBU. Karena kenikmatan rasa makanannya, popularitas mereka pun meningkat dari cerita mulut ke mulut.

Rumah makan yang dimulai pada tahun 1987 itu kini telah menempati lokasi permanen dan ditandai dengan sebuah patung tangan yang memegang dua tusuk sate ragey. Hal ini untuk menandakan rumah makan mereka karena banyaknya kompetitor yang bermunculan dan menjual sate ragey. Adri juga merupakan pemegang lisensi resmi dari nama “ragey” yang dikeluarkan oleh Kemenkumham pada tahun 1998.

Bahan pokok sate ragey adalah daging babi berlapis lemak, disertai dengan bumbu pelengkap. Bumbu tersebut terdiri dari jeruk atau lemon cui (bahasa Manado) munte komantes (bahasa Tontemboan) munte nanamuz (bahasa Tombulu), jahe atau goraka (bahasa Manado) keriit (bahasa Tontemboan), bawang merah atau lansuna raindang (bahasa Tontemboan) dan cabai atau rica (bahasa Manado) marisa, lia (bahasa Tontemboan).

Bahan pokok sate ragey adalah daging babi berlapis lemak, disertai dengan bumbu pelengkap.

Cara pembuatannya adalah daging dipotong dengan ukuran cukup besar (kira-kira tiga sampai lima kali dari ukuran potongan daging sate pada umumnya). Daging pun dilumuri dengan semua bumbu yang disebutkan tadi. Kemudian daging ditusuk menggunakan tusuk sate yang terbuat dari bambu dengan ukuran yang juga lebih panjang dan besar dari tusuk sate biasanya. Karena ukurannya yang besar, satu tusuk sate biasanya dapat memuat 4-5 potong daging. Setelah siap, sate dipanggang di atas bara api bolak-balik hingga matang. Sate biasanya disajikan dengan sambal dabu-dabu khas Manado.

Selain di Kawangkoan, sate ragey sangat mudah ditemukan di berbagai daerah di Sulawesi Utara, termasuk ibu kota Manado. Sehingga, sate ragey dapat menjadi salah satu menu dalam daftar kuliner yang dapat dijajal ketika berkunjung ke Sulawesi Utara.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Kemdikbud, Tribun News, Budaya Indonesia, Sulut Aktual

This will close in 10 seconds