Cari dengan kata kunci

Ziarah Makam Sunan Bonang, Maestro Budaya Pencipta Tembang Tombo Ati

makam-sunan-bonang-1290.jpg

Ziarah Makam Sunan Bonang, Maestro Budaya Pencipta Tembang Tombo Ati

Sunan Bonang mempunyai nama asli Syekh Maulana Makhdum Ibrahim anak dari Raden Ali Rahmatullah Sunan Ampel bin Syekh Ibrahim Asmaraqandi. Syekh Ibrahim Asmaraqandi kakek Sunan Bonang memiliki nama asli Ibrahim Al-Ghazi bin Jamaluddin Husein merupakan ulama terkemuka keturunan Turki-Persia dari daerah Samarkand

Pariwisata

Sunan Bonang mempunyai nama asli Syekh Maulana Makhdum Ibrahim anak dari Raden Ali Rahmatullah Sunan Ampel bin Syekh Ibrahim Asmaraqandi. Syekh Ibrahim Asmaraqandi kakek Sunan Bonang memiliki nama asli Ibrahim Al-Ghazi bin Jamaluddin Husein merupakan ulama terkemuka keturunan Turki-Persia dari daerah Samarkand, di negeri Uzbekistan. Pada akhir abad ke-14, Syekh Ibrahim Asmaraqandi tinggal di Yunan, Cina Selatan. Nama Sunan Bonang mengakomodir nama kakeknya Ibrahim Al-Ghazi.

Sedangkan dari garis keturunan perempuan, ibunya bernama Dewi Candrawati atau disebut Nyai Ageng Manila, putri dari Arya Teja, seorang Adipati Tuban semasa Kerajaan Majapahit berdiri. Sunan Bonang lahir pada tahun 1448 M di Tuban, dan mempunyai 8 saudara, salah satunya Raden Qasim yang bergelar Sunan Drajat. Masa muda Sunan Bonang banyak dihabiskan untuk menimba ilmu dari ayahnya, Sunan Ampel. Selain itu, Sunan Bonang juga menimba ilmu kepada Syekh Maulana Ishak, dari kerajaan Samudera Pasai, Aceh. Sunan Bonang dikenal sebagai penyebar Islam yang menguasai ilmu fikih, usuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur dan ilmu kedigdayaan.

Ketika memasuki kompleks makam Sunan Bonang yang berada di Dukuh Kauman, Kelurahan Kutorejo, Tuban, peziarah akan menemui bukti fisik antara lain ada tiga gapura. Gapura pertama berbentuk regol, kedua dan ketiga berbentuk Paduraksa. Gapura yang memiliki corak Hindu-Buddha ini seperti menandakan peziarah telah memasuki sebuah komplek tempat suci, atau bangunan penting yakni makam salah seorang wali yang cukup disegani.

Memasuki gapura kedua, pengunjung akan melihat Masjid Astana Bonang, sebagai zawiyah (tempat menyepi) Sunan Bonang. Disebelah utara masjid ini, kita dapat melihat Gapura Paduraksa, gapura ketiga yang ada di kawasan makam ini. Di gapura ke dua dan ketiga, terdapat hiasan piring dengan ornamen motif bunga dan tulisan Arab. Tulisan tersebut salah satunya tertulis nama empat kalifah antara lain, kalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Ada sekitar 30-an piring dengan ornamen bunga yang menghiasi Gapura Paduraksa. Peziarah juga bisa melihat tembok kelir dengan 15 piring porselin.

Setelah itu peziarah akan menemui ratusan makam dengan jalan setapak yang sudah beratap dan petunjuk arah menuju cungkup makam Sunan Bonang. Cungkup makam Sunan Bonang terletak di tanah yang lebih rendah. Terlihat sebuah tangga kecil dari batu dan sebuah pintu dari kayu jati menuju ke dalam Makam Sunan Bonang. Para peziarah yang mendatangi Makam Sunan Bonang duduk bersila dan membaca bacaan seperti Surat Yasin dan Tahlil. Namun, peziarah juga bisa membaca wirid berupa surah Al-Fatihah 50 kali, surah Al-Ikhlas 50 kali, shalawat 300 kali. Bacaan ini merupakan wirid kesukaan Sunan Bonang semasa hidupnya.

Di sekitar area Makam Sunan Bonang terdapat bale-bale (pendopo paseban, pendopo rante, dan pendopo tajuk) peninggalan Sunan Bonang tatkala beliau melaksanakan pendidikan dan syiar agama. Bangunan pendopo itu bentuknya limas, umpak-umpak yang berwarna putih dan terbuat dari tulang ikan. Adanya bangunan paseban, adanya ukiran-ukiran khas kesenangan Sunan Bonang yang indah dengan motif sulur-sulur daun dan hiasan tumpal, serta beberapa peninggalan purbakala seperti tempayan, yoni, pipisan dan peti batu yang tersimpan di pendopo rante.

Sunan Bonang melakukan penyebaran agama Islam dengan cara unik dan berbeda dengan sunan lainnya. Sunan Bonang merupakan salah satu sunan yang dikenal tidak hanya cerdik dan fleksibel dalam berdakwah, tetapi beliau juga dikenal memiliki karamah yang hebat menurut masyarakat Jawa. Menurut Agus Sunyoto, dakwah Sunan Bonang disebuah daerah di Singkal, Nganjuk mengadakan upacara kenduri menandingi upacara agama Tantrayana dilakukan oleh petinggi-petinggi Majapahit dengan sekte yang disebut sebagai Bhairawa Tantra.

Agama Tantrayana adalah agama yang memuja dewi bumi, dewi pertiwi, dan durga, dewi sungai. Mereka jika beribadah dengan duduk melingkar di setra. Sebuah setra yang terbesar terdapat di Majapahit yang disebut dengan Setralaya, sekarang disebut dengan Troloyo. Ritual dengan lingkaran itu disebut dengan upacara pancamakara atau lazim disebut sebagai Molimo (Mamsha artinya daging, Matsya artinya ikan, Madya artinya minuman keras, Maithuna berarti seksual, Mudra berarti semedi).

Jadi dalam upacara tersebut lelaki perempuan dalam keadaan telanjang, di tengah lingkaran tersebut ada makanan yang terbuat dari daging, ikan dan minuman keras. Setelah selesai, kemudian mereka melakukan persetubuhan bersama. Setelah nafsu mereka terpenuhi, dalam keadaan tanpa nafsu mereka melakukan semedi.

Ketika mencapai level tertinggi Mamsha dari daging hewan diganti dengan daging manusia, Matsya dari ikan biasa diganti dengan ikan Suro, dan Madya dari minuman keras diganti dengan darah manusia. Salah satu pendeta Bhairawa Tantra yang terkenal adalah Adityawarman. Di Kediri, Jawa Timur pedalaman adalah penganut terbesar Bhairawa Tantra.

Melihat ritual tersebut, Sunan Bonang menandingi dengan membuat acara yang sama di daerah Singkal, Nganjuk, Jawa Timur. Di tempat tersebut, beliau mengadakan upacara serupa, membentuk lingkaran dan pesertanya semuanya laki-laki dan berdoa. Acara ritual itu disebut dengan kenduri atau selametan. Acara ini kemudian berkembang dari satu kampung ke kampung lain. Karena telah berhasil memimpin ritual tersebut, maka Sunan Bonang mendapatkan gelar Sunan Wahdat Cakrawati, (pemimpin upacara berbentuk lingkaran). Gelar tersebut Sunan Wahdat Cakrawati atau Sunan Wahdat Anyakrawati diberikan karena menurut sejarah, Sunan Bonang tidak menikah.

Sunan Bonang ditunjuk sebagai imam pertama Masjid Demak, dan bergelar Imam Guru Suci. Keberhasilan dakwahnya dibantu dengan Sunan Kalijaga yang memberi warna lokal pada upacara keagamaan seperti Idul Fitri, perayaan Maulid Nabi, dan peringatan Tahun Baru Islam. Sunan Bonang berhasil menciptakan asimilasi budaya manusia yang lebih beradab dan tidak meninggalkan ciri asli budaya Jawa.

Upacara Sekaten dan Grebeg Maulid adalah warisan budaya yang diciptakan Sunan Bonang. Di dunia pewayangan, beberapa lakon carangan pewayangan telah digubah dengan kaidah Islam, seperti Petruk Dadi Ratu, Layang Kalimasada, Dewa Ruci, Pandu Pragola, Semar Mbarang Jantur, dan Mustakaweni.

Di dalam dunia kesusastraan, Sunan Bonang dikenal sebagai penyair yang profilik, sekaligus penulis risalah estetika sufi yang dikenal dengan ilmu tasawuf. Dunia musik pun tak luput dari sentuhan beliau, gamelan Jawa digubah dengan memasukan instrumen baru seperti rebab Arab dan kempul Campa yang kemudian disebut bonang. Bonang merupakan sejenis kuningan yang ditonjolkan bagian tengahnya. Bila benjolan dipukul dengan kayu lunak akan menimbulkan suara yang merdu di telinga pendengar bahkan dapat menggetarkan hati. Musik gamelan gubahannya menyajikan orkestra polifonik yang mediatif dan kontemplatif. Sebagai maestro pembaharu budaya, Sunan Bonang membuat beberapa kidung seperti Tombo Ati yang melegenda di telinga masyarakat Indonesia.

Di dunia arsitektur, Sunan Bonang berperan dalam menyediakan satu dari empat soko guru Masjid Agung Demak pada tahun 1478 masehi. Sunan Bonang merupakan guru dari Raden Patah putra Raja Brawijaya V Majapahit, guru para wali seperti Sunan Kalijogo. Sunan Bonang meninggal pada tahun 1525 Masehi. [AhmadSirojuddin/IndonesiaKaya]

Informasi Selengkapnya
  • Elsa Dwi Lestari

  • Indonesia Kaya