Cari dengan kata kunci

Jam_Gadang_1200.jpg

Jam Gadang, Monumen Kebanggaan Kota Bukittinggi

Bangunan peninggalan era Hindia-Belanda tersebut seakan identik dengan kota yang dahulu pernah menjadi ibukota Provinsi Sumatera Barat ini.

Pariwisata

Tidak sah rasanya jika kita bertandang ke Kota Bukittinggi tanpa melihat dan mengabadikan bangunan yang menjadi simbol kota ini, Jam Gadang. Bangunan peninggalan era Hindia-Belanda tersebut seakan identik dengan kota yang dahulu pernah menjadi ibukota Provinsi Sumatera Barat ini.

Terbukti, perjalanan waktu selama puluhan tahun tidak membuat monumen ini dilupakan oleh warga Bukittinggi. Bahkan, menara jam ini terus menjadi kebanggaan mereka dan terpampang di berbagai jenis suvenir khas kota ini.

Jam Gadang didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda atas perintah dari Ratu Wilhelmina dari Belanda. Jam ini merupakan hadiah bagi sekretaris (controleur) Kota Bukittinggi (Fort de Kock) yang menjabat saat itu yakni HR Rookmaaker.

Konstruksi bangunan menara jam ini dibangun oleh arsitek asli Minangkabau, Jazid Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh. Pembangunannya secara resmi selesai pada tahun 1926 dengan menghabiskan dana mencapai 3.000 Gulden.

Monumen Jam Gadang berdiri setinggi 26 meter di tengah Taman Sabai Nan Aluih, yang dianggap sebagai patokan titik sentral (titik nol) Kota Bukittinggi. Konstruksinya tidak menggunakan rangka logam dan semen, tetapi menggunakan campuran batu kapur, putih telur, dan pasir.

Bangunan Jam Gadang memiliki 4 tingkat. Tingkat pertama merupakan ruangan petugas, tingkat kedua tempat bandul pemberat jam. Sementara pada tingkat ketiga merupakan tempat dari mesin jam dan tingkat keempat merupakan puncak menara dimana lonceng jam ditempatkan. Pada lonceng di puncak tersebut tertera nama dari produsen mesin jam ini.

Atap berbentuk gonjong di puncak menara yang kini dapat kita saksikan bukanlah bentuk asli dari bangunan tersebut pada masa awal pendiriannya. Desain awal puncak Jam Gadang berbentuk bulat bergaya khas Eropa, dengan patung ayam jantan di bagian atasnya.

Memasuki era pendudukan Jepang, atap Jam Gadang dirubah mengikuti gaya arsitektur Jepang. Saat era kemerdekaan tiba, atap tersebut dirombak kembali menjadi bentuk atap bagonjong yang merupakan ciri khas dari arsitektur bangunan asli Minangkabau.

Mesin jam yang digunakan di dalam monumen ini merupakan barang langka yang hanya diproduksi dua unit oleh pabrik Vortmann Recklinghausen, Jerman. Unit kedua yang setipe dengannya hingga kini masih digunakan dalam menara jam legendaris Kota London, Inggris, yaitu Big Ben.

Sistem yang bekerja di dalamnya menggerakkan jam secara mekanik melalui dua bandul besar yang saling menyeimbangkan satu sama lain. Sistem tersebut membuat jam ini terus berfungsi selama bertahun-tahun tanpa sumber energi apapun.

Mesin yang berada di lantai tiga ini menggerakkan jarum jam yang menghadap keempat penjuru mata angin. Diameter masing-masing area perputaran jarum jam tersebut adalah 80 centimeter.

Seluruh angka jam dibuat menggunakan sistem penomoran Romawi, akan tetapi angka empat ditulis dengan cara diluar kelaziman, yaitu dengan empat huruf ‘I’ (IIII) dan bukan dengan tulisan ‘IV’. Hal ini menjadi salah satu daya tarik yang menimbulkan rasa penasaran bagi para wisatawan yang berkunjung ke kota ini.

Informasi Selengkapnya
  • Elsa Dwi Lestari

  • Indonesia Kaya

This will close in 10 seconds