Cari dengan kata kunci

Kuluk_Berselang_Mertuo_1290.jpg

Kuluk Beselang Mertuo, Tutup Kepala Perempuan Jambi yang Sarat Makna

Penggunaan kuluk atau tengkuluk bagi kaum Perempuan Jambi bukanlah sekadar pelengkap penampilan saja.

Tradisi

Para ibu-ibu di Jambi, khususnya yang berada di beberapa kabupaten seperti Kabupaten Bungo, Kerinci, Tebo, dan Kabupaten Sarko, memiliki sebuah penutup kepala yang seringkali dipakai saat upacara adat.

Kuluk merupakan penutup kepala yang dibuat melalui lilitan kain. Tradisi memakai penutup kepala menggunakan tengkuluk atau kuluk bagi kaum perempuan Jambi sudah dikenal sebelum penyebaran agama Islam masuk ke Indonesia, yaitu sejak abad ke-7. Saat itu mereka mengenakan penutup kepala yang berbentuk seperti turban yang bernama kuluk beselang mertuo. 

Kuluk merupakan penutup kepala yang dibuat melalui lilitan kain.

Menurut sejarah, semua kerajaan Melayu memiliki jenis tengkuluknya masing-masing. Oleh karena itu, Jambi memiliki banyak jenis tengkuluk. Suku Batin yang ada di Sarolangun, Merangin, dan Kerinci adalah salah satu suku yang memiliki jenis tengkuluk terbanyak.

Macam-Macam Tengkuluk

Mengenakan kuluk bagi perempuan Jambi, selain sebagai pelindung kepala untuk kegiatan sehari-hari, juga sebagai cerminan status sosial pemakainya. Setiap bentuk tengkuluk memiliki arti dan juga filosofi yang berbeda. Jumlah kuluk atau tengkuluk yang terdata di museum di Jambi, ada 98 jenis yang sering digunakan oleh perempuan Jambi.

Salah satu tengkuluk yang sering digunakan adalah kuluk kembang duren. Kuluk ini biasa dipakai oleh gadis Jambi sebagai sebuah simbol kecantikan. Kuluk yang khusus dikenakan untuk acara religi adalah kuluk pengajian. Kuluk ini dikenakan oleh kaum perempuan yang sudah berumur untuk pergi ke masjid atau ke pasar. Kuluk pengajian mencerminkan ketaatan wanita pada ajaran agama Islam yang sesuai dengan Al Quran dan hadis.

Kuluk kembang duren biasa dipakai oleh gadis Jambi sebagai sebuah simbol kecantikan.

Kuluk jenis kuncup melati biasanya dikenakan oleh perempuan yang belum menikah ketika menari dan menyambut tamu saat upacara adat. Kuluk ketelang petang atau kuluk ke umo biasa dikenakan oleh kaum perempuan di daerah pegunungan maupun yang tinggal di daerah pantai. Biasanya, mereka menyangkutkan keranjang rotan atau bambu di kuluk yang dikenakan di kepala untuk membawa makanan pergi ke umo (sawah) dan sekembalinya mereka membawa kayu dan hasil kebun.

Kuluk yang melambangkan kekayaan bumi Jambi dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki, tergambar dalam kuluk daun manggis, yang dikenakan oleh para penari dari Muaro Bulian, Kabupaten Batanghari. Dinamakan kuluk daun manggis karena di sekitar daerah ini dulunya merupakan penghasil manggis dan daun manggis sering digunakan sebagai obat oleh masyarakat sekitar. Kuluk ini juga mencerminkan ketulusan hati seseorang dalam mengayomi masyarakat sesuai dengan aturan adat istiadat yang berlaku.

Kuluk yang dikenakan oleh istri atau anak pemangku adat ketika menghadiri acara adat adalah Kuluk mayang terurai. Kata “mayang” berasal dari rumput panjang yang terurai, karena saat pemasangan di belakang kepala ada yang terjuntai menyerupai rambut. Selain itu, ada juga kuluk daun pandan berlipat yang dikenakan oleh istri pemangku adat untuk menghadiri upacara adat di Desa Tabir, Kabupaten Bungo. Interpretasi daun pandan pada kuluk ini terlihat pada saat pemasangan kuluk yang dilipat menyerupai daun pandan. Kuluk ini menggambarkan kekuatan tanpa kesombongan bagi seorang pemimpin cerdas dan dipercaya oleh masyarakat.

Dalam mengenakan kuluk juga tidak bisa sembarangan, tetapi harus mengikuti aturan yang sudah berlaku selama turun-temurun. Kain yang menjuntai di sebelah kanan dan kiri memiliki arti yang berbeda. Kain kuluk yang menjuntai ke kanan hanya digunakan oleh perempuan yang sudah menikah, sedangkan yang menjuntai ke kiri digunakan oleh perempuan yang belum menikah.

Kain kuluk yang menjuntai ke kanan hanya digunakan oleh perempuan yang sudah menikah, sedangkan yang menjuntai ke kiri digunakan oleh perempuan yang belum menikah.

Pemakaian Tengkuluk Beselang Mertuo

Pemakaian kuluk beselang mertuo biasanya dilengkapi dengan baju kebaya songket, sarung songket, kalung tapak kudo bungo matahari, gelang pilin, dan kerabung bungo matohari. Penggunaan kalung tapak kudo bungo matahari bukanlah tanpa makna. Aksesori fesyen ini memiliki makna wanita telah terikat dalam pernikahan, dan apapun yang dilakukan tidak boleh menyimpang dari aturan dan ajaran agama Islam dalam membina keluarga dan pergaulan dalam bermasyarakat. Kalung tapak kudo bungo asli terbuat dari emas dan dibuat dengan teknik filigree dan granular. Motif tapak kudo dikelilingi dengan permata dan dikombinasikan dengan hiasan bunga melati. 

Pemakaian kuluk beselang mertuo biasanya dilengkapi dengan baju kebaya songket, sarung songket, kalung tapak kudo bungo matahari, gelang pilin, dan kerabung bungo matohari.

Sedangkan, selendang songket warna merah melambangkan keberanian dalam berbicara. Selendang songket ini terbuat dari benang katun warna merah ataupun hitam. Tutup kepala kuluk beselang mertuo beserta perlengkapan pakaiannya mencerminkan sebuah demokrasi yang luas, tetapi tetap berada dalam ranah nilai-nilai luhur budaya tradisional.

Saat ini, perkembangan tren fesyen membawa pada modifikasi pemakaian kuluk atau tengkuluk. Yang biasanya dikenakan oleh perempuan Jambi, kini kuluk mulai dimodifikasi sebagai hijab atau turban. Modifikasi ini pun semakin diminati karena lebih sederhana dan mudah dalam penggunaanya.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Indonesia.go.id , Liputan 6

This will close in 10 seconds