Cari dengan kata kunci

Mengarak_Jari_jari_1200.jpg

Sebuah Pesan Filosofis dari Mangarak Jari-jari

Adalah prosesi simbolis saat masyarakat di Pasa dan Subarang beramai-ramai mengarak sebentuk keranjang atau wadah yang disebut panja.

Tradisi

Tradisi Tabuik di Pariaman tidak dapat dilepaskan dari peristiwa memilukan yang terjadi terhadap cucu nabi Muhammad SAW, yaitu Hussein RA. Putra dari khalifah Ali bin Abi Thalib itu wafat dalam pembantaian di padang Karbala oleh pasukan Yazid bin Mu’awiyah pada tahun 61 H (680 M). Peristiwa tersebut merupakan bagian dari perang saudara yang terjadi di kalangan umat Islam saat itu.

Rangkaian prosesi dalam tradisi Tabuik merupakan wujud ungkapan kesedihan warga Pariaman atas tragedi yang menimpa sayyidina Hussein RA. Sejak prosesi mengambil tanah yang berlangsung pada tanggal 1 Muharram hingga puncaknya saat Tabuik dilarung ke laut, setiap tahapan membawa pesan filosofis yang berkaitan dengan tragedi tersebut.

Salah satu bagian dari prosesi dalam tradisi Tabuik adalah ritual mangarak jari-jari. Ritual ini adalah prosesi simbolis saat masyarakat di Pasa dan Subarang beramai-ramai mengarak sebentuk keranjang atau wadah yang disebut panja. Di dalam panja ini terdapat potongan kertas yang melambangkan potongan jari-jari Hussein yang tercecer di Padang Karbala.

Panja akan diarak keliling kampung-kampung bersama miniatur tabuik disertai iringan tabuhan gandang tasa yang bertalu-talu. Prosesi ini biasanya berlangsung pada malam kedelapan, yaitu setelah prosesi Mata’am dilangsungkan pada siang harinya.

Ada fenomena yang menarik jika kita membandingkan antara mata’am dan mangarak jari-jari. Jika mata’am didominasi oleh kaum ibu dan anak-anak, maka iring-iringan mangarak jari-jari lebih didominasi oleh kaum lelaki dari berbagai lapisan usia. Hal ini berkembang tak lepas dari adanya kebiasaan adu fisik antar rombongan yang mengiringi ritual ini dari tahun ke tahun.

Tahapan Ritual Tabuik masih sama seperti pada masa lalu walaupun terjadi banyak perkembangan dan pergeseran dalam pelaksanaannya seiring perubahan zaman. Hal ini pun terjadi dalam prosesi mangarak jari-jari.

Di masa lalu, arak-arakan berlangsung dengan ekspresi duka cita menyelimuti seluruh anggota rombongan. Kini, meski makna filosofisnya tetap berusaha dipertahankan, arak-arakan ini lebih banyak diwarnai nuansa keceriaan dan suka cita sebagai sebuah momentum tahunan yang semarak.

Informasi Selengkapnya
  • Elsa Dwi Lestari

  • Indonesia Kaya

This will close in 10 seconds