Cari dengan kata kunci

Vihara-Budha-Jayanti-1290.jpg

Atmosfer Toleransi di Vihara Budha Jayanti

Vihara ini bernama Vihara Budha Jayanti dan terletak di wilayah pusat kota Sorong, tepatnya di Jalan Jenderal Ahmad Yani no. 49, Sorong. Tempat ibadah umat Budha ini berada di sebuah bukit dan sudah berdiri dengan megah sejak tahun 1986. Obyek ini tidak jauh dari hotel tempat kami menginap, sehingga hanya membutuhkan beberapa menit saja untuk menempuhnya dengan mobil.

Pariwisata

Perjalanan kami menjelajahi bumi Papua kini sampai di Kota Sorong, Papua Barat. Kota ini memang bukan ibukota Propinsi, namun kompleksitas kota ini melebihi ibukota Papua Barat, kota Manokwari. Sorong begitu terasa padat dan memiliki keragaman yang begitu heterogen. Bila menelisik kondisi demografis penduduknya, banyak masyarakat pendatang seperti suku Jawa, Buton, Makasar, atau bahkan Tinghoa yang berdomisili di Sorong. Walaupun Sorong merupakan kota yang heterogen, kondusifitas kota ini tetap terjaga dengan baik. Sikap saling menghormati antar penduduknya tetap terjaga dari dahulu hingga kini. Salah satu bukti nyata sikap saling menghormati yang dimiliki Sorong adalah keberadaan sebuah Vihara Budha yang cukup dihormati. Padahal mayoritas penduduk Sorong adalah kaum Muslim dan Nasrani.

Vihara ini bernama Vihara Budha Jayanti dan terletak di wilayah pusat kota Sorong, tepatnya di Jalan Jenderal Ahmad Yani no. 49, Sorong. Tempat ibadah umat Budha ini berada di sebuah bukit dan sudah berdiri dengan megah sejak tahun 1986. Obyek ini tidak jauh dari hotel tempat kami menginap, sehingga hanya membutuhkan beberapa menit saja untuk menempuhnya dengan mobil. Bagi kami, kesan pertama ketika melihat Vihara ini adalah menakjubkan karena menjadi bukti toleransi warga Sorong yang begitu tinggi sekalipun umat Budha adalah minoritas di kota ini.

Sesampainya di Vihara, kami disambut oleh seorang pengurusnya yang bernama Mahendra. Ia sebenarnya berasal dari Medan dan merupakan keturunan India Tamil. Namun, keluarganya memang beragama Budha dan ia sudah mendalami Budha sejak kecil. Mahendra berjanji untuk mendampingi kami berkeliling sambil menceritakan segala informasi yang kami butuhkan. “Memang unik kan, di tengah kota Sorong yang minim orang Budha, tapi ada Vihara besar seperti ini…”, ucap Mahendra sambil menyambut kedatangan kami.

Seperti yang dikatakan Mahendra, Vihara ini memang memiliki ukuran yang cukup megah. Apalagi ditambah dengan adanya sebuah pagoda yang menjulang tinggi ke angkasa dengan indahnya. Warna-warna cerah seperti merah, kuning, dan jingga pun menjadi tampilan yang mencolok di penglihatan kami. Namun, bukannya memberikan kesan norak, warna-warna terang ini justru memberikan kesan khusyuk ketika berpadu dengan megahnya bangunan Vihara. Kesan sepi, damai dan tenang pun sungguh terasa sejak kami pertama kali menginjakkan kaki di halaman Vihara. Mungkin kesan ini muncul karena Vihara ini memang lebih dikenal sebagai tempat ibadah yang berada tinggi di atas bukit ketimbang obyek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan.

Mahendra pun membuka penjelasannya,”Vihara Budha Jayanti ini memang tempat ibadah, tapi nggak menutup diri kalau ada wisatawan yang mau berkunjung kesini lho…”. Ia menjelaskan bahwa Vihara ini sangat terbuka untuk umum, bahkan beberapa instansi pemerintah seperti Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan rombongan Komando Distrik Militer pun sering mengunjungi tempat ini. Mahendra justru berharap, dengan seringnya masyarakat umum mengunjungi Vihara ini akan membuat toleransi antar umat beragama semakin nyata untuk dirasakan.

Beberapa saat bercengkrama di pelataran halaman Vihara, kemudian rombongan kami pun dipersilahkan untuk menaiki tangga menuju bangunan utama Vihara yang terletak agak tinggi. Anak tangga demi anak tangga pun kami naiki sambil mendengarkan penjelasan dari Mahendra. “Vihara ini merupakan inisiatif beberapa tokoh masyarakat Sorong yang beragama Budha, mereka ingin agar umat Budha di Sorong punya tempat ibadah selayaknya agama lain di kota ini…”, lanjut Mahendra. Para tokoh masyarakat ini pun mengajukan permohonan ke pemerintah kota untuk mendirikan Vihara. Awalnya mereka khawatir perizinan akan dipersulit, mengingat status minoritas yang mereka miliki. Namun Tuhan berkehendak sebaliknya, ijin mendirikan rumah ibadah ini keluar tanpa kesulitan yang berarti dan Vihara pun siap dibangun. Inilah sekelumit kisah di balik pembangunan Vihara yang diceritakan Mahendra.

Kami pun tiba di pelataran depan Vihara yang sangat luar biasa. Hal pertama yang kami lihat ketika kami sampai adalah pemandangan indah kota Sorong dan birunya lautan yang menghiasi sekitarnya. Kami sungguh takjub dengan apa yang kami lihat, posisi arah barat Vihara ini sungguh tepat untuk menyaksikan keindahan kota Sorong. “Mas, lebih bagus lagi kalau sore-sore waktu matahari mau terbenam…posisi yang paling cantik itu disini”, Mahendra menambahkan sambil menunjuk sebuah patung Budha berwarna emas yang ia yakini sebagai posisi paling tepat ketika melihat matahari terbenam.

Setelah cukup lama mengagumi keindahan panorama yang kami lihat, pandangan kami pun beralih ke sekitar pelataran Vihara. Sebuah lonceng, tempat menaruh dupa, dan beberapa ornamen khas Budha menghiasi pelataran Vihara ini sebelum akhirnya menggiring perhatian kami menuju bagian dalam Vihara. Seperti halnya Vihara lain, bagian dalam tempat ibadah ini memang hanya dikhususkan bagi umat Budha yang ingin sembahyang. Kami hanya diperbolehkan melihat saja tanpa memasuki bagian dalam Vihara. Tetapi ini sudah sangat cukup untuk kami, atmosfer Vihara yang damai dan penuh ketenangan selalu kami rasakan di seluruh bagian Vihara. Kami benar-benar menikmati keberadaan kami di tempat ini.

Matahari semakin terik, kami pun menyadari sudah waktunya kami beranjak dan melanjutkan perjalanan. Kunjungan kami ke Vihara Budha Jayanti telah mengajarkan kami banyak hal, terutama toleransi antar umat beragama yang harus tetap terjaga di Indonesia. Pengetahuan Mahendra yang begitu luas tentang keberadaan Vihara ini juga sangat membantu kami untuk semakin paham tentang pentingnya sikap saling menghormati di dalam sebuah masyarakat heterogen seperti Sorong. Setelah berpamitan dan ketika akan meninggalkan tempat ini, Mahendra yang beragama Budha itu pun mengucapkan terimakasih sambil berkata, “Sampai ketemu lagi…hati-hati….Tuhan memberkati”. [@phosphone/IndonesiaKaya]

Informasi Selengkapnya
  • Elsa Dwi Lestari

  • Indonesia Kaya

This will close in 10 seconds