Cari dengan kata kunci

Benteng_Keraton_Buton_1290.jpg

Belajar Sejarah Kesultanan Buton Di Benteng Keraton Wolio Baubau

Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan september 2006.

Pariwisata

Sulawesi merupakan pulau yang memiliki banyak sumber daya alam dan tempat wisata yang mengagumkan. Tak heran kini Pulau Sulawesi menjadi salah satu tujuan pariwisata yang ramai dikunjungi para turis lokal maupun mancanegara. Siapa sangka pula ternyata di Kepulauan Sulawesi terdapat sebuah benteng yang menjadi benteng terluas di Dunia! Ya, namanya adalah Benteng Keraton Buton. Benteng Keraton Buton terletak di Kota Baubau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.

Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan september 2006 sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektar. Selain menjadi benteng terluas di dunia, Benteng Keraton Buton memiliki bentuk unik yang terbuat dari batu kapur. Dulunya benteng ini dijadikan tempat pertahanan, namun kini menjadi objek wisata yang menampilkan sejarah Kesultanan Buton dengan pemandangan Kota Baubau yang menakjubkan.

Benteng yang dibangun pada abad ke-16 oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin (1591-1596) ini memiliki 3 komponen.

Pertama, Badili atau meriam. Obyek wisata ini merupakan meriam yang terbuat dari besi tua yang berukuran 2 sampai 3 depa. Meriam ini bekas persenjataan Kesultanan Buton peninggalan Portugis dan Belanda yang dapat ditemui hampir pada seluruh benteng di Kota Baubau.

Kedua, Lawa. Artinya dalam bahasa Wolio adalah pintu gerbang. Lawa berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung yang berada di sekeliling benteng keraton. Terdapat 12 lawa pada benteng keraton. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat mewakili jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga benteng keraton diibaratkan sebagai tubuh manusia. Ke-12 lawa memiliki masing-masing nama sesuai dengan gelar orang yang mengawasinya, penyebutan lawa dirangkai dengan namanya. Kata lawa diimbuhi akhiran ‘na’ menjadi ‘lawana’. Akhiran ‘na’ dalam bahasa Buton berfungsi sebagai pengganti kata milik “nya”. Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda tapi secara umum dapat dibedakan baik bentuk, lebar maupun konstruksinya ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan dengan kayu, semacam gazebo di atasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat. 12 Nama lawa di antaranya: Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Waborobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Wajo atau Bariya, Lawana Burukene atau Tanailandu, Lawana Melai/Baau, Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-gundu.

Ketiga, Balarua. Kata baluara berasal dari bahasa portugis yaitu baluer yang berarti bastion. Baluara dibangun sebelum benteng keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa pemerintahan La Elangi/ Dayanu Ikhsanuddin (Sultan Buton ke-4) bersamaan dengan pembangunan ‘godo’ (gudang). Dari 16 baluara dua diantaranya memiliki godo yang terletak di atas baluara tersebut. Masing-masing berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan mesiu. Setiap baluara memiliki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan dan tempatnya. Nama-nama baluara dinamai sesuai dengan nama kampung tempat baluara tersebut berada. Nama kampung tersebut ada di dalam benteng keraton pada masa Kesultanan Buton. 16 Nama Baluara, yaitu: Baluarana Gama, Baluarana Litao, Baluarana Barangkatopa, Baluarana Wandailolo, Baluarana Baluwu, Baluarana Dete, Baluarana Kalau, Baluarana Godona Oba, Baluarana Wajo/ Bariya, Baluarana Tanailandu, Baluarana Melai/ Baau, Baluarana Godona Batu, Baluarana Lantongau, Baluarana Gundu-gundu, Baluarana Siompu dan Baluarana Rakia.

Selain bisa menyaksikan benteng yang kokoh berdiri di sepanjang perbukitan Wolio dan indahnya pemandangan kota Baubau dari ketinggian, di sini kita bisa merasakan kentalnya nuansa islami dengan adanya Masjid Keraton Buton. Masjid berlantaikan marmer yang berukuran kurang lebih 40 m2 ini dibangun pada tahun 1712 dan menjadi masjid tertua di Sulawesi Tenggara. Dibangun pada masa kesultanan Sultan Sakiuddin Durul Alam, juga menjadi lambang kejayaan Islam pada masa itu.

Karena banyaknya objek wisata yang ada di sini, maka tidak cukup satu hari untuk menjelajahi seluruh kawasan Benteng Keraton Buton. Bukan hanya sejarah kesultanan Buton saja yang bisa kita dapatkan di sini, para pengunjung dapat menikmati indahnya Kota Baubau dari ketinggian.

Informasi Selengkapnya
  • Elsa Dwi Lestari

  • Indonesia Kaya

This will close in 10 seconds