Cari dengan kata kunci

Klenteng_Boen_Tek_Bio_1200.jpg

Klenteng Boen Tek Bio, Tempat Kebajikan yang Tetap Bertahan

Klenteng Kuno ini berada di tengah perkampungan pecinan yang menjadi cikal bakal Kota Tangerang.

Pariwisata
Tagar:

KELENTENG Boen Tek Bio tampak mencolok. Berhias raya dengan dominasi warna merah terang. Bagian atap utamanya menampakkan sepasang naga mengapit mutiara yang menyala. Lampion-lampion merah bergelantungan di langit-langitnya.

Klenteng menghadap ke selatan. Jika masuk ke halaman depan yang berubin merah, Anda akan menjumpai dua patung singa dari batu andesit abu-abu. Menara pembakaran kertas sembahyang bercat merah ada di sisi kanan dan kiri halaman. Di tengahnya terdapat pedupaan atau hiolo utama. Pedupaan berwarna emas ini merupakan tempat pembakaran hio bagi Tuhan Yang Maha Esa (Dewa Langit). Sementara, bangunan utama kelenteng terdiri dari ruang dewa utama yang dikelilingi oleh serambi bagi dewa-dewi pendukung.

Kelenteng Boen Tek Bio adalah klenteng tertua di kawasan Pecinan, Kota Tangerang. Kehadirannya tak bisa dilepaskan dari kedatangan orang-orang Tionghoa yang dikenal dengan sebutan “Cina Benteng”.

Menurut Sudemi dalam “Jejak Warisan Sejarah Agama Khonghucu Pada Masyarakat Cina Benteng”, tesis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2019, seiring dengan kedatangan mereka, masuk pula ajaran Kong Hu Cu. Di tempat baru ini mereka membangun permukiman dalam bentuk petak sembilan dengan Bio (klenteng) sebagai pusatnya. Mula-mula yang dibangun Kelenteng Boen Tek Bio. Menyusul kemudian tiga kelenteng lain dibangun di Tangerang.

“Kelenteng Boen Tek Bio dibangun dan didedikasikan untuk menghormati Dewi Kwan Im, salah satu Shen Ming yang dihormati umat Khonghucu,” lanjut Sudemi. Shen Ming bisa diartikan Dewa-Dewi.

Boen Tek Bio sendiri berasal dari bahasa Hokkian yang memiliki arti khusus. Boen berarti intelektual, tek berarti kebajikan, dan bio berarti tempat ibadah. Secara etimologi, Boen Tek Bio berarti tempat bagi umat manusia untuk menjadi insan yang penuh kebajikan dan intelektual.

Ada beberapa versi mengenai kapan dibangunnya Kelenteng Boen Tek Bio. Klenteng Boen Tek Bio dibangun sekitar akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Masyarakat Tionghoa setempat meyakini kelenteng semula berbentuk sebuah rumah bambu. Pemugaran kemudian beberapa kali dilakukan.

Kelenteng di Jalan Bhakti, Kota Tangerang, ini direnovasi besar-besaran pada 1844. Bangunan yang pertama dibangun adalah bagian tengah klenteng saat ini. Bangunan inilah yang mengalami renovasi tahun 1844. Ahli bangunan dari Tiongkok sengaja didatangkan sehingga bangunan kelenteng yang awalnya hanya berupa rumah menjadi seperti yang bisa dilihat seperti saat ini. Sementara bangunan di sisi kiri-kanan serta di belakang dibangun kemudian. Bangunan sisi kiri-kanan dibuat tahun 1875, sedangkan bangunan di bagian belakang dibangun tahun 1904.

Saat renovasi tahun 1844, keempat kimsin dewa-dewi yang disembah di kelenteng ini, yakni Dewi Kwan Im Hud Couw, Kongco Kha Lam Ya, Kongco Hok Tek Ceng Sin, dan Kongco Kwan Seng Tee Kun dipindahkan ke Kelenteng Boen San Bio di daerah Pasar Baru, Tangerang.

Setelah renovasi selesai, keempat kimsin dikembalikan ke Kelenteng Boen Tek Bio melalui prosesi arak-arakan tandu (joli). Prosesi arak-arakan pertama, yang dilakukan tahun 1856, kemudian menjadi tradisi rutin dan dikenal dengan istilah Gotong Toapekong.

Menurut Stefanus Hansel Suryatenggara dalam “Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang Kajian Arsitektural”, skripsi di Universitas Indonesia tahun 2011, setiap 12 tahun kegiatan ini digelar untuk merayakan sekaligus memperingati ulang tahun kelenteng.

“Perayaan ini pada dasarnya adalah arak-arakan umat dan simpatisan kelenteng yang menggotong joli (tandu) yang berisi tiga dewa-dewi yang disembah, yaitu Kwan Im, Cha Lam Ya, dan Kwan Kong,” jelas Stefanus.

Salah satu yang menarik pada Kelenteng Boen Tek Bio adalah berbagai atribut di dalamnya. Mulai dari tempat sembahyang hingga papan didatangkan langsung dari Tiongkok. Termasuk dua patung singa di halaman depan kelenteng. Patung yang biasa disebut Ciok say ini berasal dari sumbangan tahun 1827.

“Sepasang patung singa ini biasa ditempatkan di depan kuil Cina, satu melambangkan unsur yang (jantan) digambarkan dengan mulut terbuka dan sebuah bola kecil, satu lagi sebagai unsur yin, betina, dengan mulut tertutup dan anak singa di bawah kakinya,” jelas Stefanus.

Pun sebuah lonceng di sebelah barat laut. Lonceng ini adalah cetakan dari perunggu utuh dengan nama Wende Miao dalam aksara mandarin yang dilebur di Tiongkok.

Kelenteng yang pernah berubah nama menjadi Vihara Padumuttara pada masa Orde Baru ini terletak di kawasan Pasar Lama Tangerang. Letaknya yang strategis membuat Kelenteng Boen Tek Bio selalu kedatangan pengunjung. Aksesnya pun mudah. Biasanya pengunjung dari Jakarta akan melalui Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta, kemudian langsung masuk ke Jalan Ir. H. Juanda lalu ambil jalan Jakarta-Bogor dan Jl. Dewi Sartika. Jika sudah mencapai persimpangan, putar balik untuk menuju ke Jalan Ki Hajar Dewantoro, dan lanjut ke Jalan Bakti. Bisa juga dengan transportasi umum, seperti KRL. Yang terdekat adalah Stasiun Tangerang.

Kelenteng Boen Tek Bio terakhir kali mengadakan perayaan Toapekong pada 6 Oktober 2012. Perayaan berikutnya akan diadakan lagi pada 2024. Kendati begitu tak perlu menunggu lama untuk menyaksikan perayaan di sana. Pasalnya setiap tahun kelenteng ini rutin mengadakan berbagai perayaan seperti Peh Cun, yaitu lomba perahu naga yang diadakan di Kali Cisadane.*

Tagar:
Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Euis Thresnawaty S. “Sejarah Sosial-Budaya masyarakat Cina Benteng di Kota Tangerang”. Patanjala (Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya) Vol. 7, No. 1 Maret 2005.
    Stefanus Hansel Suryatenggara. “Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang Kajian Arsitektural”, skripsi di Universitas Indonesia, 2011.
    Sudemi. “Jejak Warisan Sejarah Agama Khonghucu Pada Masyarakat Cina Benteng”, tesis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.

This will close in 10 seconds