Cari dengan kata kunci

tari_hudoq_1200.jpg

Tari Hudoq, Tradisi Topeng Dayak dan Sisi Spiritualnya

Mengenal Hudoq, tarian Suku Dayak yang menjadi penanda tibanya musim panen.

Kesenian

Suku Dayak, penghuni wilayah Kalimantan Timur, terkenal akan kekayaan tradisi tiada duanya, khususnya dari sisi upacara adat. Banyak prosesi ritual masyarakat Dayak yang berkaitan erat dengan nilai-nilai spiritual. Hal ini termasuk pertunjukan kesenian yang dipertontonkan dalam berbagai acara adat, perayaan, dan upacara keagamaan. Begitu juga dengan tarian Hudoq.

Hudoq adalah nama tari topeng tradisional yang kemudian menjelma menjadi sebuah festival perayaan. Hudoq tidak hanya ditunggu-tunggu oleh masyarakat lokal tapi juga para turis. Bagi Suku Dayak, topeng lebih dikenal dengan sebutan “hudoq” yang secara harfiah berarti menjelma.

Hudoq dalam Suku Dayak digambarkan dalam berbagai wujud, yang paling umum adalah muka babi, monyet, atau binatang-binatang lain yang dianggap sebagai hama. Sebaliknya, burung elang dilambangkan sebagai binatang yang akan melindungi dan memelihara hasil panen masyarakat Dayak. Sementara hudoq yang berwujud manusia merupakan simbol nenek moyang.

Hudoq dalam Suku Dayak digambarkan dalam berbagai wujud, yang paling umum adalah muka babi, monyet, atau binatang-binatang lain yang dianggap sebagai hama.

Awal Mula Tari Hudoq

Dilansir Kemdikbud, awal mula pelaksanaan tarian ini dimulai dari kisah Halaeng Heboung yang mencari mandaunya yang terjatuh ke dalam sungai. Halaeng Heboung adalah anak dari Raja Hajaeng yang tinggal di Kampung Laham Kejin. Ia kemudian sampai di lokasi yang disebut “eleing bouy meash” atau pusaran air di Sungai Kejin, Apo Kayan.

Di sana, Halaeng Heboung bertemu dengan Selo Sen Yaeng, seorang manusia gaib yang berasal dari dasar sungai. Pertemuan tersebut mengantarkan mereka pada ikatan perkawinan hingga memiliki seorang anak bernama Buaq Selo.

Suatu hari, Halaeng dan Selo mengadakan pertunjukan dengan mengumpulkan makhluk gaib dari dasar sungai. Bukannya membuat senang, pertunjukan itu malah menakuti Halaeng dan anaknya sampai melarikan diri dan bersembunyi di lumbung padi.

Sejak saat itu, mereka merasa tak nyaman lagi tinggal di dekat sungai. Akhirnya, Halaeng Heboung dan anaknya memutuskan untuk kembali ke lingkungan kerajaan di Kampung Laham Kejin. Meski Halaeng telah kembali ke kampungnya, hubungan antara dirinya dan Selo Sen Yaeng tetap terjaga melalui ritual hudoq.

Sejarah Tari Hudoq

Ada banyak tradisi topeng di Indonesia yang sudah berkembang sejak zaman prasejarah. Dahulu, topeng sengaja digunakan sebagai penghormatan kepada leluhur. Salah satu cara yang paling umum adalah lewat pentas tari-tarian berisi petuah nenek moyang yang diajarkan secara turun-temurun. Bahkan, topeng dianggap berkaitan erat dengan roh leluhur yang diyakini sebagai perwujudan dari dewa.

Pada awalnya, Tari Hudoq adalah bagian dari ritual Suku Dayak Bahau yang selalu dilakukan ketika membuka lahan pertanian baru, atau setelah musim panen. Tujuannya untuk berkomunikasi dengan roh nenek moyang, meminta perlindungan dan kekuatan agar dihindarkan dari energi jahat. Sekaligus berterima kasih atas hasil panen yang didapatkan dari ladang dan sawah. Sosok leluhur/roh/dewa ini digambarkan dengan topeng.

Pada awalnya, Tari Hudoq adalah bagian dari ritual Suku Dayak Bahau yang selalu dilakukan ketika membuka lahan pertanian baru, atau setelah musim panen.

Menurut Suku Dayak Bahau, manusia tidak bisa melihat roh secara langsung. Jika hal ini sampai terjadi, manusia akan mengalami kualat–atau parit dalam bahasa Dayak–yang berujung merugikan diri sendiri. Maka dari itu, dibuatlah topeng sebagai media komunikasi agar roh-roh bisa berhubungan dengan manusia tanpa terkena kemalangan. Roh-roh ini turun dari Apo Lagaan, diutus oleh Asung Luhung Inai Ayaq untuk memberkati bumi dengan kesuburan dan kemakmuran.

Dalam versi Bahau, semua roh yang datang disebut sebagai pembawa berkah, tak ada penjelasan tentang roh pembawa hama. Namun, seiring berkembangnya tradisi ini, hudoq jadi memiliki berbagai peran; hama (berbentuk binatang pembawa hama), pelindung (berbentuk elang), dan roh nenek moyang (berbentuk manusia).

Tarian ini pun berkembang menjadi sebuah festival yang dilakukan setiap selesai melakukan prosesi menugal atau menanam padi di ladang setiap bulan September-Oktober, berpindah-pindah dari satu desa ke desa lainnya dengan durasi 3 hari 2 malam.

Kostum Tari Hudoq

Hudoq atau topeng terbuat dari kayu khusus dari pohon jelutung, pelay, dan kemiri–yang ringan dan tahan lama. Melengkapi topeng, para penari hudoq, yang semuanya adalah laki-laki, mengenakan hudoq chum tai. Hudoq chum tai adalah baju rumbai berwarna hijau yang merepresentasikan karakter leluhur.

Hudoq atau topeng terbuat dari kayu khusus dari pohon jelutung, pelay, dan kemiri–yang ringan dan tahan lama.

Baju ini dibuat dari daun pisang yang dipotong memanjang kemudian disusun menjadi baju. Baju hijau ini menyimbolkan dedaunan yang akan terus menghijau, subur, dan sejuk selama kepala suku membuka lahan garapan.

Topeng yang dipakai didominasi warna merah, putih, hitam, dan kuning. Warna-warna ini dipercaya sebagai warna kesukaan para dewa. Merah berarti keberanian, hitam simbol keagungan, putih untuk kesucian, dan kuning sebagai kemakmuran.

Prosesi Tari Hudoq

Ada ratusan orang turut serta dalam acara adat ini. Sebagian pria menggunakan hudoq dan para wanita menjadi penari pengiring yang turut memeriahkan ritual tanpa menggunakan topeng. Saat menari–di tempat yang luas–para hudoq akan menempati posisi di tengah, sedangkan pengiring di sisi luar. Dipercayai, dewa akan merasuki hudoq saat prosesi ini, dan berkumpul di satu tempat untuk memberi berkah.

Gerakan Tari Hudoq sangat dinamis. Meskipun para penari menggunakan kostum dan topeng, tariannya terlihat tetap ekspresif. Gerakan tangan dan kaki para penari yang bersemangat mendalami peran sesuai dengan hudoq yang digunakan. Tarian ini bisa berlangsung cukup lama tergantung banyaknya peserta yang ikut serta. Saat sore dan para penari sudah kelelahan, akan ada orang yang berteriak sambil melantunkan nada, untuk menyemangati para hudoq.

Meskipun para penari menggunakan kostum dan topeng, tariannya terlihat tetap ekspresif.

Menantang pastinya, untuk menari di bawah terik matahari menggunakan kostum dan topeng yang berat. Meskipun keringat bercucuran, nyatanya para penari hudoq tetap bersemangat dan merasa senang bisa turut melestarikan budayanya. Tarian ini terus berlangsung bahkan hingga pagi, dengan cara bergantian dengan kampung-kampung lainnya yang turut serta.

Selain gerakan, musik dan nyanyian juga memegang peranan penting dalam Tari Hudoq. Alat musik tradisional seperti gong, kempli, dan suling digunakan untuk mengiringi gerakan penari. Nyanyian dalam bahasa Dayak juga menjadi bagian tak terpisahkan dari tarian ini. Lirik-lirik nyanyian menceritakan mitos, cerita rakyat, dan hubungan manusia dengan alam dan leluhur.

Pada hari kedua, sesepuh Dayak akan mengumpulkan para pemimpin adat untuk melakukan rapat yang bertujuan untuk memilih lokasi dan tuan rumah perayaan Hudoq selanjutnya.

Pentingnya Tari Hudoq

Tari Hudoq bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi juga sarana memperkuat identitas budaya suku Dayak. Tarian ini diwariskan turun-temurun dengan tujuan melestarikan nilai-nilai tradisional dan memperkenalkannya kepada generasi muda. Melalui Tari Hudoq, suku Dayak memperlihatkan kekayaan budaya mereka kepada dunia, dan menjaga agar warisan leluhur tetap hidup.

Tari Hudoq menggambarkan hubungan manusia dengan alam dan cara menghormati para pendahulu. Meskipun menghadapi tantangan dalam menjaga kelangsungan dan relevansinya di tengah modernisasi, Tari Hudoq tetap menjadi warisan budaya yang berharga dan perlu dilestarikan sebagai bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya Indonesia.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Kemdikbud,
    Koropak,
    CNN,
    RomaDecade,
    Trans7

This will close in 10 seconds