Cari dengan kata kunci

pasar_klewer_1200.jpg

Pasar Klewer, Pasar Batik yang Ramah

Di pasar ini segala jenis batik dapat ditemukan. Menjadi salah satu pusat tekstil terbesar di Jawa Tengah.

Pariwisata

PASAR Klewer terkenal sebagai tempat terbaik untuk mencari berbagai jenis kain batik dengan harga murah. Ia juga menjadi pasar tekstil terbesar di Jawa Tengah dan salah satu pusat grosir pakaian terbesar di Indonesia. Tak aneh jika ia merupakan salah satu pasar tersibuk di Solo, Jawa Tengah.

Kesibukan akan terasa begitu memasuki pasar. Para pedagang berteriak, sahut-menyahut, dengan bahasa Jawa halus menawarkan dagangan. Pembeli berdesak-desakan memasuki lorong-lorong pasar; berhenti di satu kios untuk membeli pakaian atau sekadar melihat-lihat. Kuli panggul atau pedagang asongan yang lalu-lalang.

Menurut Anita Chairul Tanjung dalam Pesona Solo, Pasar Klewer menempati kawasan bisnis utama Kota Solo, yakni kawasan Coyudan, jalan tertua di Solo yang kini diubah menjadi Jalan Dr. Rajiman. Jalan ini menjadi saksi perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta.

Sudah jamak pasar muncul dengan sendirinya begitu beberapa penjual menggelar dagangan di suatu tempat. Begitu pula yang terjadi pada Pasar Klewer. Mulanya, pada masa pendudukan Jepang, orang-orang menjual kain dan pakaian bekas yang sudah diwarnai ulang agar terlihat baru di jalan-jalan Solo.

“Konon, barang-barang berharga milik kaum bangsawan di Kasunan dan Mangkunegaran ikut juga diperjual-belikan karena ekonomi lagi sulit,” tulis J.J. Rizal dkk dalam Menguak Pasar Tradisional Indonesia.

Para pedagang biasa menjajakan dengan cara dipanggul di pundak sehingga kain dan pakaian kleweran atau berjuntaian. Karena jumlah pedagang di “pasar dadakan” ini makin banyak, pemerintah kota menyediakan tempat baru di Setabelan/Banjarsari di depan kantor air minum.

“Sampai saat-saat sesudah Proklamasi, pasar Klewer masih ngendon di tempat bekas pembuangan sampah yang ledok dan becek itu, dan hanya punya los-los darurat,” tulis majalah bulanan Kotapraja, Juli/Agustus 1971, terbitan Badan Kerja Sama Antar Kota Seluruh Indonesia.

Ketika wabah pes melanda Solo pada 1946, pemerintah kota memindahkan pedagang ke sebuah tanah lapang di selatan Masjid Besar, yang tadinya menjadi pasar burung. Los-los permanen di sana lambat-laun dirombak jadi kios sehingga para pedagang tak perlu membawa pulang barang dagangannya. “Namun demikian sifat-sifat dagang secara kleweran masih nampak,” tulis majalah bulanan Kotapraja.

Dulunya tempat ini dipakai parkir kereta kuda milik para bangsawan yang menghadap ke Sinuwun Pakubuwana. “Karenanya tempat ini disebut Pakretan, dari kata pakretaan alias tempat menaruh kereta,” ungkap Anita.

Karena suara kereta kuda mirip dengan suara terompet, warga kemudian menyebutnya Slompretan, dari kata slompret yang artinya terompet. Seiring waktu, lantaran para pedagang menjajakan batik dengan cara dipanggul di pundak sehingga batiknya kleweran atau berjuntaian, pasar ini kondang sebagai Pasar Klewer.

Lokasinya yang dekat dengan keraton dan masjid membuat aktivitas perdagangan kian lama kian meningkat. Seiring dengan industrialisasi kain batik, Pasar Klewer bertambah ramai. Keberadaan Kampung Kauman di seputaran Masjid Agung yang memiliki banyak perajin batik dan Kampung Laweyan yang sejak lama menjadi sentra batik turut andil meramaikan pasar ini.

Pesatnya aktivitas ekonomi di Pasar Klewer mendorong pemerintahan menggulirkan rencana memindahkan pasar dari Slompretan ke Singosaren pada awal 1950. Rencana itu ditolak para pedagang dengan alasan jauh dari masjid. Pemerintah akhirnya memilih memutuskan mendirikan bangunan permanen.

Ketika perkembangan pasar kian pesat, pasar dibangun dua lantai sehingga menjadi pasar batik dan pusat bursa tekstil yang megah. Pasar Klewer diresmikan Presiden Soeharto pada 9 Juni 1971.

Awal 1980-an, pengunjung dari luar daerah mulai datang dan berbelanja di pasar ini. Nama Pasar Klewer sebagai pusat penjualan batik pun menyebar ke berbagai daerah. Saking ramainya, pedagang membludak hingga berjualan di emperan, tangga, dan lorong pasar.

“Pasar ini menjawab semua keinginan konsumen baik dari kalangan kelas menengah ke bawah sampai menengah ke atas. Bahkan ada kain-kain batik standar kerajaan yang sangat eksklusif, bisa untuk dikoleksi maupun digunakan sebagai busana prosesi jamuan maupun yang sakral,” tulis Aris Suryadi dalam Bedah Pasar Seputar Jawa Tengah: Pasar-Pasar Sakti Mandraguna.

Untuk menampung aktivitas perdagangan yang kian meningkat, pada 1980-an dilakukan pembangunan pasar tambahan satu lantai di sebelah timur. Sayangnya, kebakaran melanda pasar ini tahun 2014. Pasar itu akhirnya kembali dibangun. Lalu, pada 2019 dilakukan peletak batu pertama untuk revitalisasi Pasar Klewer sisi timur agar bisa menampung lebih banyak pedagang.

Para pengunjung senang dan kembali berbelanja ke pasar ini karena harga barang-barang yang dijual terbilang murah. Hal itu dimungkinkan karena mayoritas pedagang memiliki usaha konveksi sehingga bisa menekan harga. Bahkan, ada sebuah prinsip yang dipegang para pedagang di sini: ora bati ora popo, ning bathi paseduluran, tidak apa-apa kalau tidak untung, yang penting menjalin persaudaraan.

Selain berbelanja, pengunjung bisa menikmati sajian beragam kuliner khas Solo. Tak kalah menarik, Pasar Klewer dekat dengan ikon-ikon penting Kota Solo lainnya: Masjid Agung Surakarta dan Keraton Surakarta yang tentu tak bisa dilewatkan begitu saja untuk dikunjungi. Pasar Klewer sendiri sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang menandakan punya nilai historis.

Pasar Klewer berlokasi di Jalan DR Radjiman No. 5A, Gajahan, Kecamatan Ps. Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Bila sedang berada di Solo, sempatkanlah berkunjung.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Anita Chairul Tanjung. Pesona Solo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
    Aris Suryadi. Bedah Pasar Seputar Jawa Tengah: Pasar-Pasar Sakti Mandraguna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
    J.J. Rizal dkk. Menguak Pasar Tradisional Indonesia. Jakarta: Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013.
    Majalah bulanan Kotapraja, Juli/Agustus 1971

This will close in 10 seconds