Cari dengan kata kunci

Malam_satu_suro_1200.jpg

Perayaan Satu Suro Malam Sakral Masyarakat Jawa

Malam satu suro masih dianggap keramat oleh masyarakat Jawa. Tahun baru dua kalender: Saka dan Hijriah.

Tradisi
Tagar:

ORANG-ORANG berdesak-desakan di sekitar Keraton Surakarta hingga memenuhi jalanan kota. Kirab hendak digelar dan kebo bule yang dinantikan masyarakat juga akan diboyong keluar. Malam itu adalah malam satu Suro. Malam istimewa yang sering dianggap mistis dan keramat sekaligus penuh berkah dan sakral.

Sebagian besar masyarakat Jawa masih mempercayai bahwa malam satu Suro memang malam istimewa. Di berbagai daerah banyak tradisi memperingati Tahun Baru Jawa sekaligus Islam ini. Sementara itu, di lingkungan Keraton Surakarta dan Yogyakarta, beragam ritual dan kirab digelar. Ramai dan semarak.

Tradisi malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung. Saat itu, masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu. Sementara Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah (Islam). Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.

Penyatuan kalender ini dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro, bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah.

Menurut Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro, Perspektif Islam Jawa, kata “Suro” berasal dari kata “Asyura” dalam bahasa Arab yang berarti “sepuluh”. Kata Asyura di sini merujuk pada tanggal 10 bulan Muharam, yang berkaitan dengan peristiwa wafatnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhamad di Karbala (sekarang masuk Irak).

“Dari Sultan Agung inilah kemudian pola peringatan tahun Hijriah dilaksanakan secara resmi oleh negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa. Berbagai ritual perayaan Muharram dan Asyura di Indonesia terus lestari sampai sekarang berkat jasa Sultan Agung,” tulis Muhammad Solikhin.

Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam satu Suro selalu diadakan oleh masyarakat Jawa. Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum. Sebab, pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

Beragam tradisi seringkali digelar untuk menyambut bulan Suro seperti jamas pusoko, ruwatan, hingga tapa brata. Dalam tradisi keraton, para abdi dalem keraton mengarak hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta kirab benda pusaka.

Di Keraton Surakarta, menurut Dian Uswatina dalam tesisnya “Akulturasi Budaya Jawa dan Islam (Kajian Budaya Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta Hadiningrat Masa Pemerintahan Paku Buwono XII)”, peringatan 1 Suro dilakukan dengan cara bersyukur, tafakur (merenung) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang dipusatkan di Masjid Pujasana. Pada masa Paku Buwono XII, upacara kirab pusaka malam 1 Suro dilaksanakan seminggu sekali pada hari Jumat. Itupun hanya mengelilingi bagian dalam keraton.

Sekira 1973, Presiden Soeharto meminta kepada Sinuhun untuk turut berdoa demi ketentraman negara. Maka, “Sinuhun Paku Buwono XII mulai melaksanakan kirab pusaka di luar tembok keraton dan mengikutsertakan kebo bule yang dianggap sebagai bentuk pusaka keraton yang bernyawa,” sebut Dian Uswatina.

Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam satu Suro. Ia bukan sembarang kerbau, karena leluhurnya merupakan hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II. Leluhur kerbau bule itu merupakan hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo. Secara turun-temurun kebo bule menjadi cucuk lampah (pengawal) pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet sehingga masyarakat menyebutnya kebo bule Kyai Slamet.

Dalam kirab satu Suro, orang-orang berdesak-desakan dan berebut kotoran kebo bule. Kotoran kebo bule dianggap dapat membawa berkah dan keselamatan.

Berbeda dari Solo, di Yogyakarta perayaan malam satu Suro biasanya identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab.

Tradisi malam satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya.

Selain itu, terdapat pula tradisi mubeng beteng atau mengelilingi benteng keraton. Menurut Hersapandi dkk dalam Suran: Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni, konsep mubeng beteng kemungkinan besar terpengaruh oleh pradaksina dan prasawya dalam Hindu dan Buddha. Pradaksina adalah ritual berjalan kaki mengeliling benteng sesuai arah jarum jam. Sedangkan prasawya yaitu ritual berjalan kaki mengelilingi benteng kebalikan arah jarum jam.

“Jika orang berjalan dengan menggunakan pradaksina, maka secara simbolis dia memohon kebutuhan lahiriah. Jika berjalan dengan menggunakan prasawya, maka secara simbolis lebih bersifat ilmu kesempurnaan hidup (batiniah),” tulis Hersapandi dkk.

Ada banyak cara dilakukan masyarakat Jawa untuk menyambut satu Suro. Tapi umumnya melakukan “laku prihatin” untuk tidak tidur semalaman. Aktivitas yang dilakukan adalah tirakatan, menyaksikan kesenian wayang, dan acara kesenian lainnya.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling disini memiliki arti manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. *

Tagar:
Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Dian Uswatina. “Akulturasi Budaya Jawa dan Islam (Kajian Budaya Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta Hadiningrat Masa Pemerintahan Paku Buwono XII)”, tesis di UIN Sunan Kalijaga, 2016.
    Hersapandi dkk. Suran: Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni. Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2005.
    Solikhin, Muhammad. 2010. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2010.

This will close in 10 seconds