Cari dengan kata kunci

304_thumb_Rempeyek.jpg

Rempeyek, Renyah dan Gurih

Gorengan dengan beragam pilihan isian. Menjadi bagian dari sajian upacara adat dan juga popular sebagai kudapan maupun lauk.

Kuliner

TAK lengkap rasanya jika menyantap nasi pecel, gado-gado, atau soto tanpa ditemani rempeyek atau peyek. Teksturnya renyah dan kering, didominasi rasa asin yang gurih. Dengan tambahan rempeyek, makan jadi lebih sedap dan nikmat.

Rempeyek adalah sejenis makanan dari kelompok gorengan yang bisa disajikan dan dinikmati dengan beraneka hidangan. Bisa dinikmati langsung sebagai camilan, teman makan nasi, atau disajikan sebagai pelengkap makanan lainnya.

Secara umum, rempeyek adalah gorengan tepung terigu yang dicampur dengan air hingga membentuk adonan kental, diberi bumbu (terutama garam dan bawang putih), dan diberi bahan pengisi yang khas. Peran tepung di sini adalah sebagai pengikat untuk isian rempeyek.

Untuk isian rempek, ada banyak pilihan, tergantung ketersediaan bahan dan selera pembuatnya. Biasanya biji kacang tanah atau kedelai. Selain itu peyek bisa diisi bahan pangan hewani seperti ikan teri, ebi, udang kecil, jingking, hingga laron. Saat ini orang juga membuat rempeyek dari daun bayam.

Konon, rempeyek telah ada sejak masa Kesultanan Mataram sekitar abad ke-16. Namun masih perlu kajian mendalam, mengingat sumber sejarah yang terbatas. “Rempeyek Yogyakarta merupakan kudapan berusia tua yang sejak dulu ada,” tulis Murdijati Gardjito dkk dalam Kuliner Yogyakarta: Pantas Dikenang Sepanjang Masa.

Di Yogyakarta, masyarakat mengenal banyak jenis rempeyek: rempeyek kacang, rempeyek kedelai, rempeyek teri, rempeyek jingking, rempeyek udang, rempeyek laron, hingga rempeyek gereh pethek. Ukurannya pun beragam, mulai dari seukuran genggaman tangan, hingga sebesar ban motor kecil.

“Tampilan rempeyek ini ada yang kecoklatan namun ada yang putih permukaannya. Semuanya memberikan sensasi gurih dan kemripik, renyah,” jelas Gardjito.

Bukan sekadar makanan pelengkap, rempeyek juga memiliki filosofi yang dipercaya masyarakat. Misalnya rempeyek teri, imbuh Gardjito, cocok menjadi teman makan sayur lodeh. Maknanya adalah sebagai simbol kebersamaan bagi orang Jawa. Rempeyek gereh pethek juga tidak bisa dilepaskan dari acara selamatan. “Jenis rempeyek ini adalah perlambangan dari gotong royong dan persatuan,” tulis Gardjito.

Sejak dulu, rempeyek juga merupakan bagian dari sajian dalam upacara adat di Jawa yang berkaitan dengan daur hidup manusia. Upacara ini merupakan wujud penghayatan manusia terhadap tiga fase penting kehidupannya: kelahiran, perkawinan, dan kematian. Misalnya, sajian dalam upacara mitoni (selamatan saat bayi berumur tujuh bulan dalam kandungan), upacara brokohan atau barokahan setelah si jabang bayi lahir, khitanan, upacara pernikahan, hingga kenduri pada upacara kematian.

Masyarakat Kotagede zaman dulu juga menggunakan rempeyek sebagai pelengkap sesaji untuk ritual. Menurut Retno Widayanti dalam “Profil Makanan Tradisional di Kotagede”, skripsi di Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2007, rempeyek menjadi pendamping nasi ruwahan yang dibawa ke masjid pada upacara ritual ruwahan untuk menyambut bulan Ramadan, sesaji untuk acara pernikahan dan khitanan, serta tahlilan untuk memperingati meninggalnya seseorang.

“Namun untuk saat ini hanya sebagian kecil masyarakat masih menggunakanya sebagai sesaji. Karena sebagian besar peyek digunakan sebagai lauk ataupun sebagai kudapan,” jelas Retno.

Bahkan, berdasarkan penelitian Ph. Subroto yang diterbitkan dengan judul Sistem Pertanian Tradisional Pada Masyarakat Jawa, rempeyek merupakan salah satu perlengkapan upacara terkait pertanian lahan basah maupun kering.

Di Desa Melikan, Kabupaten Wonogiri, para petani lahan kering melakukan upacara kirim dowo setelah habis panen. Setelah dibacakan doa oleh tetua desa, perlengkapan upacara selamatan dibagikan kepada peserta kenduri; sebagian dimakan di tempat dan sisanya dibawa pulang.

Sementara di daerah Klaten ada upacara ritual di sawah (lahan basah) sebelum panen yang disebut wiwit. Setelah dibacakan doa, dimulailah pekerjaan memetik padi untuk ngantenan. Perlengkapan upacara diambil sedikit untuk diletakkan di setiap sudut sawah sebagai sesaji. Sisanya dibagikan kepada anak-anak yang biasanya mengikuti upacara. Setelah itu ngantenan dibungkus daun pisang lalu dibawa pulang, digendong dengan kain baru. Keesokan harinya padi sudah dapat dipanen.

“Upacara-upacara yang sifatnya ritual lebih banyak lagi dilakukan di dalam masyarakat petani padi (basah). Hal ini disebabkan oleh karena padi merupakan jenis tanaman yang kehidupannya sangat tergantung pada penjagaan spiritual dari dewi padi yang disebut Dewi Sri,” jelas Subroto.

Saat ini, rempeyek identik sebagai lauk maupun kudapan. Karena punya pilihan isian, rempeyek disukai berbagai kalangan. Rasanya renyah dan gurih. Rasa gurih diperoleh dari  bumbu yang terdiri dari kemiri, ketumbar, bawang putih, dan garam. Semua bumbu dihaluskan dan ditambahkan pada adonan rempeyek sebelum digoreng. Biasanya rempeyek dimasukkan dalam toples agar renyahnya terjaga dan tahan lama. Rempeyek mudah ditemukan dan dijual di warung makan, pasar, maupun pasar swalayan.

Di Bantul, lebih dari seperempat abad lalu, muncul jenis rempeyek baru bernama rempeyek tumpuk. Berbeda dari varian rempeyek lain, rempeyek hasil cipta Mbok Tumpuk ini isian kacangnya lebih banyak ketimbang adonan terigunya. Soal cara menggorengnya dilakukan susul-menyusul, dengan terus menambah adonan ketika sedang digoreng.

Renyahnya rempeyek membuat banyak orang menjadi ketagihan dan baru bisa berhenti jika semua rempeyek habis tak bersisa.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Firman

  • Murdijati Gardjito dkk. Kuliner Yogyakarta: Pantas Dikenang Sepanjang Masa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017.
    Ph. Subroto. Sistem Pertanian Tradisional Pada Masyarakat Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), 1985.
    Retno Widayanti. “Profil Makanan Tradisional di Kotagede”, skripsi pada Program Studi Pendidikan Teknik Boga, Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta, 2007.

This will close in 10 seconds