Cari dengan kata kunci

tari_gambyong_1290

Tari Gambyong Menonjolkan Keluwesan dan Keanggunan

Dari tradisi kecil menjadi tradisi besar. Dari tarian rakyat diadopsi menjadi tarian keraton.

Kesenian

DENGAN luwes, penari mulai menari, mengikuti irama musik gamelan. Tangannya bergerak lembut. Sesekali pergelangan tangan memutar. Pandangan mata mengarah ke jemari, bergerak mengikuti gerak tangan.

Sementara kakinya melangkah kecil-kecil, jinjit, bergeser ke kiri dan kanan. Lutut membuka, bergerak ke bawah dan ke atas, diikuti gerak panggul yang berirama. Tubuh diayun ke kiri dan kanan. Kepala memutar, menekuk, menjulurkan leher ke depan dan menariknya kembali. Setiap gerakan dilakukan dalam tempo pelan dan sangat hati-hati. Begitu lembut dan anggun.

Itulah tari gambyong, tarian tradisional khas Jawa Tengah yang sudah ada ratusan tahun lalu. Tarian ini mulanya adalah kesenian rakyat, yang kemudian hidup dan berkembang di lingkungan keraton.

“Tari gambyong adalah tradisi kecil yang berkembang menjadi bagian tradisi besar,” tulis Sri Rochana Widyastutieningrum dalam Sejarah Tari Gambyong: Seni Rakyat Menuju Istana.

Tari gambyong merupakan pengembangan dari tari tledhek yang hidup di tengah masyarakat dan sudah dikenal sejak abad ke-15. Keberadaan tari tledhek sendiri berkaitan erat dengan tari tayub. Sebab, tari tledhek merupakan bagian atau perkembangan dari tari tayub.

Dalam pertunjukan tayub, penari tledhek biasanya menari dalam tayuban bersama para pengibing. Namun sebelum ngibing dimulai, penari tledhek membawakan tarian tunggal sebagai pembuka untuk menghormati para tamu dan menarik penonton. Hal ini sesuai dengan makna tledhek, berasal dari kata “ngleledhek” yang artinya menggoda atau mengundang daya pikat.

“Di dalam buku Tjentini para penari yang menampilkan kebolehannya pada awal sebelum tayuban ini dikatakan menarikan gambyong (nggambyong), sehingga tarian semacam itu lebih dikenal dengan nama tari gambyong,” tulis Rina Martiara dan Budi Astuti dalam Analisis Struktural Sebuah Metode Penelitian Tari.

Di masa lalu penari tledhek sohor sebagai penari jalanan yang digandrungi banyak orang. Di istana Mangkunegaran, Surakarta, banyak pula penari tledhek yang bertugas sebagai penari istana. Pada masa Paku Buwana IV di Surakarta (1788-1820), ada satu penari taledhek yang dikenal mahir menari dan memiliki suara merdu. Namanya Mas Ajeng Gambyong. Dari namanyalah pula diduga istilah tari gambyong berasal.

Karena popular di masyarakat, tari gambyong diadopsi lingkaran keraton. Atas usaha K.R.M.T Wreksadiningrat, seniman istana yang juga adik Patih Dalem Keraton Surakarta R. Ad. Sasradiningrat, tari tersebut diperhalus sesuai kaidah-kaidah tari keraton. Sejak itu tari gambyong sering disajikan di lingkungan keraton.

Seiring perkembangan zaman, tari gambyong mendapat sentuhan baru dari para koreografer. Kreativitas ini diawali oleh seniman keraton Nyi Bei Mintoraras yang menghasilkan tari gambyong pareanom pada 1950.

Menurut Sri Rochana, kemunculan tari gambyong pareanom merupakan awal perubahan bentuk penyajian tari gambyong. Sebelumnya bentuk penyajian terkesan spontan; bergantung pada kreativitas penari mengikuti pola kendangan. Sedangkan tari gambyong pareanom memiliki susunan dan urutan gerak yang harus diikuti penari.

“Bentuk tari gambyong itu kemudian berkembang secara luas, dan diikuti dengan munculnya berbagai bentuk tari gambyong yang lain,” tulis Sri Rochana.

Muncullah banyak varian tari gambyong. Sebut saja gambyong mudhatama, gambyong ayun-ayun, gambyong dewandaru, gambyong pangkur, gambyong sala minulya, dan gambyong gambirsawit. Masing-masing memiliki keunikan dalam gerakan maupun lagu pengiringnya.

Bahkan tari gambyong pareanom Nyi Bei Mintoraras terus dikembangkan. Antara lain dilakukan seniman S. Ngaliman pada 1972. Ngaliman menggarap rangkaian gerak pokok (sekaran) baru. Salah satunya menggunakan srisig kanan untuk mengawali dan mengakhiri tarian; berbeda dari susunan Nyi Bei Mintoraras yang menggunakan sembahan.

“Tujuan S. Ngaliman menyusun tari gambyong pareanom susunan Nyi Bei Mintoraras adalah untuk dapat ditampilkan dan dipelajari di masyarakat luas, dikarenakan tari gambyong susunan Nyi Bei Mintoraras lebih terbatas di lingkungan Mangkunegaran,” tulis Arina Restian dalam Pembelajaran Seni Tari di Indonesia dan Mancanegara,

Tari gambyong terus berkembang dan bukan hanya ditarikan di lingkungan kesunanan sebagai hiburan bagi Sinuhun Paku Buwono VI dan tarian untuk menyambut tamu kehormatan. Tari gambyong mulai dipertunjukkan sebagai hiburan untuk masyarakat umum.

Tari gambyong menjadi lebih halus daripada sebelumnya. Tapi kesan kenes, lemah gemulai, dan lembut tetap ditonjolkan. Gerak yang memperlihatkan betis, mengguncangkan payudara, dan melirikkan mata ditiadakan. Bagi sebagian penari gambyong sekaligus penyanyi atau pesindhen, kualitas gerak tari gambyong yang umum sekarang cenderung seperti tari bedhaya atau srimpi. Gaya yang sedikit menggoda tidak dapat muncul atau kurang mendapatkan penekanan.

“Kebanyakan para penari sangat enggan untuk melakukan gaya seperti itu, dan tanpa itupun tari dengan penari yang baik sudah cukup daya pikat,” tulis Rina Martiara dan Budi Astuti.

Secara umum, tari gambyong terdiri atas tiga bagian, yaitu: awal, isi, dan akhir atau dalam istilah tari Jawa gaya Surakarta disebut dengan istilah maju beksan, beksan, dan mundur beksan. Saat menari, para penari memperlihatkan ekspresi wajah yang terlihat berwibawa dan anggun.

Riasan wajah penari dibuat secantik mungkin. Mereka menggunakan angkinan, yaitu kain batik yang diwiru, angkin (ikat pinggang) bermotif jumputan atau pelanggi sebagai penutup bagian dada, dan sampur yang disampirkan di bahu kanan. Rambut dibuat bentuk gelung gedhe dengan beragam hiasan bunga melati dan kantil. Iring-iringan tari gambyong menggunakan seperangkat gamelan Jawa, terdiri dari gong, gambang, kendang, dan kenong.

Menurut Sri Rochana dalam “Nilai-nilai Estetis Tari Gambyong” di jurnal Greget Vol. 1 No. 2, Desember 2002, sebagai tarian wanita, tari gambyong mempunyai aturan-aturan yang membatasi kebebasan gerak. Hal ini dilakukan agar sifat kewanitaan yang halus dapat dipertahankan atau ditonjolkan.

“Dalam tari gambyong selalu dijaga keseimbangan antara suasana hati dengan gerak-gerak yang dilakukan, maka setiap gerakan dilakukan dengan hati-hati, halus dan mengalir,” sebut Sri Rochana.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Tim Indonesia Exploride

  • Arina Restian. Pembelajaran Seni Tari di Indonesia dan Mancanegara. Malang: UMM Press. 2017.
    Rina Martiara dan Budi Astuti. Analisis Struktural Sebuah Metode Penelitian Tari. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta, 2018.
    Sri Rochana Widyastutieningrum. “Nilai-nilai Estetis Tari Gambyong”, jurnal Greget Vol. 1 No. 2, Desember 2002.
    Sri Rochana Widyastutieningrum. Sejarah Tari Gambyong: Seni Rakyat Menuju Istana. Surakarta: ISI Press. 2011.

This will close in 10 seconds