Cari dengan kata kunci

Maudy Koesnaedi

Maudy-Koesnaedi-cover.jpg

Maudy Koesnaedi

Perempuan yang terpilih sebagai None Jakarta pada 1993 di usia 18 tahun ini merasa tergerak untuk memberi sumbangsih untuk melestarikan budaya Betawi yang telah membuka jalan baginya mengarungi popularitas di jagat budaya pop tanah air.

Tokoh
Tagar:

Demi budaya Betawi dan kemandirian abang dan none Jakarta muda, Maudy dengan senang hati menjadi orang di belakang panggung.

“Hai Mbak, sebentar lagi ya… lagi siap-siap pentas Teater ABNON,” tulis Maudy singkat di ruang bincang whatsapp ketika Indonesia Kaya meminta waktu untuk menghubunginya pada sebuah petang awal April 2016 lalu. Teater Abang None (ABNON) adalah ‘bayi’ yang dibidani kelahirannya oleh Maudy pada 2009. Perempuan yang terpilih sebagai None Jakarta pada 1993 di usia 18 tahun ini merasa tergerak untuk memberi sumbangsih untuk melestarikan budaya Betawi yang telah membuka jalan baginya mengarungi popularitas di jagat budaya pop tanah air.

“Saya menangguk ilmu banyak sekali selama menjadi None Jakarta selama setahun sejak terpilih. Meski penobatan saya terbilang kontroversial karena usia saya baru 18 tahun dan jadi None termuda sepanjang sejarah pemilihan Abnon di Jakarta. Banyak sekali yang meragukan saya. Tapi saya sendiri, entah dari mana merasa yakin sekali saya mampu menjalankan tugas itu,” kata Maudy. Meski sempat gentar, nyatanya ia menikmati semua proses pembelajaran yang harus dijalani oleh seorang None Jakarta yang selama setahun harus menjalankan tugas sebagai duta budaya Betawi. “Saya harus belajar tentang sejarah, kebudayaan, hingga disiplin dan kekuatan mental. Tapi saya bisa menikmati semua proses itu,” katanya.

Citra perempuan Betawi makin melekat pada diri perempuan berdarah Sunda ini ketika ia memerankan tokoh Zaenab dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan bersama Rano Karno. “Semua yang saya pelajari selama proses None Jakarta itu, aplikasinya itu di keluarga si Doel, pada sosok Zaenab. Cara bicaranya, cara pandangnya, detail kesehariannya. Semakin lama, saya merasa lebih dalam memahami budaya Betawi dan susah lepas dari citra itu. Sampai hari ini, masih ada yang memanggil saya Zaenab dan bukan Maudy. Bahkan ketika saya memerankan tokoh lain dalam berbagai sinetron dan film seperti ketika memerankan tokoh Inggit Garnasih pun, tak bisa menghilangkan citra Betawi pada saya.” Ia mengaku lebih mudah menjadi seorang Betawi ketimbang menjadi seorang Sunda. “Saya jatuh cinta sama budaya Betawi,” katanya.

Bertahun-tahun menyelami dan menghayati Betawi, membuat Maudy, pada satu titik tergerak untuk berkontribusi merawat tradisi agar tak terpaksa hilang atau mati. Seni pertunjukan menjadi pilihannya untuk memulai langkah. Lenong, seni pertunjukan khas Betawi yang terkenal dengan gaya bicara yang lugas dan penuh improvisasi dipilihnya menjadi bentuk pertunjukan yang diusung oleh Teater ABNON yang ia gagas. Kenapa Lenong? Karena Maudy melihat, di dalam sebuah pertunjukan lenong, seluruh bentuk budaya Betawi mulai dari teater, musik hingga tari ada di dalamnya. Keinginan besarnya untuk mewujudkan mimpinya melestarikan budaya Betawi dan menularkan kesadaran pada generasi muda untuk melestarikannya membuat Maudy tak keberatan mengerjakan segala hal untuk memungkinkan pertunjukan bisa terlaksana.

“Dari mulai mencari dana, menjadi pemain, sampai menyambut tamu,” kenang Maudy sambil tertawa. Ia bercerita, Fauzi Bowo, mantan gubernur Jakarta yang hadir ketika lakon pertama berjudul Cinta Dasima dipentaskan sampai menyebutnya mirip tukang cukur. “Kalau tukang cukur itu kan melayani pelanggannya dari mulai membukakan pintu ruangan, mengantar ke kursi cukur, memasang kain alas, mencukur, hingga menyediakan minum dan menerima pembayaran. Nah seperti itulah saya menurut Bang Foke saat mementaskan Cinta Dasima. Tapi saat itu keadaannya memang mengharuskan saya untuk jadi “tukang cukur” karena orang juga masih belum tahu apa yang ingin saya buat,” Maudy megisahkan.

Dibantu Melissa Gandasari, Tasa Rudman dan Andri Sena, tiga temannya di Abnon, Maudy terus berusaha menggelar pertunjukan secara rutin setiap tahun sejak pementasan pertama digelar. Pertunjukan Enam: Sketsa Jakarta yang dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya pada awal April 2016 lalu merupakan produksi ke-10 yang pernah dibuat oleh Teater Abnon selain Cinta Dasima (2009), Doel: Antara Roti Buaya dan Burung Merpati (2010), Kembang Parung Nunggu Dipetik (2010) Sangkala 9/10 (2011), Soekma Djaja (2013), Topeng Betawi Jaya Bersama (2013), dan Jawara (2015).

Maudy sendiri hanya dua kali tampil sebagai pemain di atas panggung. Sejak pertunjukan ketiga, ia memutuskan menjadi orang di belakang layar saja.  Regenerasi merupakan hal penting yang menurutnya perlu disiapkan. “Saya ingin, ada saya atau tidak, Teater Abnon bisa terus berjalan. Sekarang biar anak-anak muda yang di depan dan saya menemani mereka saja di belakang,” kata Maudy yang tak khawatir bakal kehabisan anak muda untuk diajak mencintai budaya Betawi. “Peminat Abnon setiap tahun tetap banyak. Artinya, akan selalu ada anak muda yang mau mencintai budaya Betawi. Harapan saya, teater ini juga akan membuat idealisme mereka untuk melestarikan budaya Betawi makin tinggi dan mental mereka untuk menghadapi berbagai tantangan makin kuat,” katanya.

Maudy mengaku, meski tak mudah dan tak semua seniman Betawi berkenan diajak bekerjasama karena skeptis pada apa yang dilakukan oleh Tetare Abnon, ia tak akan surut langkah, mundur dari kancah pelestarian budaya Betawi. “Selalu ada yang skeptis, tapi juga selalu ada yang berkenan membantu. Saya banyak dibantu Bang Atin Hisyam, seorang seniman Betawi yang berkenan kami jadi konsultan budaya untuk pertunjukan-pertunjukan yang kami gelar,” katanya.

Teater Abnon sendiri tak main-main dengan setiap pertunjukan yang mereka buat. Selalu ada proses riset yang cukup panjang tiap kali mereka akan mengangkat kisah sejarah atau legenda Betawi ke atas pentas. “Selalu ada upaya kami mengangkat lagi sejarah atau legenda Betawi yang sudah mulai dilupakan. Misalnya cerita tentang Nyai Dasima, Sukmajaya atau tentang tiga aliran silat Betawi yang kami angkat dalam pertunjukan Jawara tahun 2015 lalu,”Maudy menjelaskan. Semangat terdengar membalut suaranya yang halus. Semangat yang juga selalu menjadi daya baginya untuk terus bergerak di belakang panggung Teater Abnon untuk mencari jalan agar pelestarian budaya Betawi tetap bisa mereka lakukan.

Namun Maudy mengaku, adakalanya ia merasa semangatnya redup kala harus bertemu kenyataan kalau ada banyak sekali kendala yang harus mereka hadapi untuk mewujudkan mimpi, baik untuk Teater Abnon, juga pelestarian budaya Betawi dalam skala yang lebih besar. “Saya dulu pernah menjadi bagian dari Dewan Kesenian Jakarta waktu Mbak Ratna Riantiarno di sana. Kami sempat melakukan sosialisasi budaya Betawi ke SMA-SMA di Jakarta. Kami bawa Tanjidor, dan anak-anak sekolah itu cukup antusias. Juga beberapa waktu lalu, kami dari Teater Abnon masuk ke beberapa sekolah, bercerita tentang busana Betawi,. Mereka juga suka. Artinya, anak-anak kita sebenarnya suka dan mau mempelajari budaya. Hanya saja kebanyakan dari mereka tidak tahu harus ke mana mencarinya,” kata Maudy berapi-api.  Ia berharap ada semakin banyak pihak yang mau peduli pada pelestarian ini. [Nala Indira], Foto: Adi Nugroho

Tagar:

This will close in 10 seconds